“Orang baik pasti dapat yang baik. Kalau kamu mau jadi pasangan orang alim, ya, kudu jadi orang alim juga.”
Mengabaikan kerutan di jidatmu, aku nyalakan lagi geretan. Sengaja, kusemburkan asap kretek yang kuhisap dalam-dalam ke tampang planga-plongomu. Kau tidak batuk. Mengedip pun tidak. Hanya kerutan di jidat yang semakin berlipat.
“Sebentar lagi kiamat. Kalau mau masuk surga bareng orang yang dicinta, ya, belajar agama.”
Maaf, aku tidak bisa menahan tawa. Terkadang kata-katamu lebih menggelitik perut dibanding mengetuk hati. Memangnya apa yang bisa diharapkan dari perempuan yang saban magrib keluar dan kembali di sepertiga malam? Aku beri tahu—aku sesap lagi ujung kretek dan mengembuskan asap ke mukamu, kali ini kau batuk—aku juga benci berkubang dalam pelukan lelaki hidung belang. Yang setiap malam mengklaim kenikmatan. Sok berkuasa, tapi ciut begitu terendus. Namun, rupiah tetap hal yang patut dicatuk. Bahkan kopiah putih yang kau pakai, aku belikan dari hasil pergumulan dosa semalam suntuk.
“Lebih baik tobat sekarang.” Maka kau tersenyum. Lesung pipimu muncul di antara cambang yang kau pelihara. Dalam dan memikat. Ingin kusentuh, tapi bokongmu bergerak mundur. “Kita bukan mahram dan juga belum halal.”
Tidak peduli orok di kamar sebelah akan tersentak lagi atau besok pagi kita disembur kembali oleh si tante di kamar lainnya, aku tertawa keras. Lama, kemudian meringis. Lampu kamar masih menyala dan sengaja aku beli banyak bingkai besar untuk memajang kenangan kita di setiap sisi dinding. Kau hanya perlu mendongak sedikit dan terpampanglah kita yang tengah bersimpuh di hadapan ustaz langgar. Kau memakai kopiah putih dililit sorban. Sementara aku sebatas kebaya tanpa dandan. Tanganmu dan tangan si ustaz bersalaman di atas meja kecil. Dalam hasil jepretan kamera, tertangkap juga sosok orang tuamu dan wali hakimku.
Aku tidak suka pada kabut tipis yang menutupi matamu. Memburamkan siapa aku. Hanya di sepertiga malam kau kembali, walau perlakuanmu jauh dari apa yang biasa dilakukan suami. Aku selalu berdebar kala membuka pintu setelah berkutat dengan keringat dan nafsu orang. Mendapati dirimu tengah bersujud, meski yang kau jadikan arah kiblat bertentangan dengan ajaran. Mendengarmu melantunkan ayat-ayat—walau dari surat yang selalu sama—hatiku sedikit tenang. Memang hasrat menyumpal mulutmu dengan rokok belum berkurang acap kali ceramahmu soal jodoh dan akhirat mulai berkumandang, tetapi melihat ada aku di matamu rasa jengkel itu bisa berubah menjadi ketagihan.
Susah mengembalikanmu seperti dulu. Bahkan orang tuamu sudah menyerah. Mungkin kau masih mendekam di kamar, kalau aku tidak datang. Aku ingat, kita pernah diam-diam mencari belut di sawah kala musim hujan. Saling bercanda sambil menenteng jeriken sewaktu kemarau. Kau pernah memanjat pohon jambu dan jatuh. Aku pernah kepergok mencuri petai cina dan kau menjadi tamengku. Lalu, kau berangkat ke sekolah dan aku menumbuk melinjo agar bisa makan. Kemudian aku mengadu nasib di Jakarta dan kau memperdalam ilmu agama. Sebatas kebersamaan kita dulu, aku berani mendobrak pikiran kolot orang tuamu bahwa sebelum sembuh—bisa jadi seumur hidup—kau harus dikurung.
Batinmu sangat sakit; terluka karena khayalan sendiri, begitu bapakmu memberi tahu. Entah seperti apa rupa dia yang kau puja. Hanya anak dari seorang kiai yang kutahu. Kau berusaha memantaskan diri tanpa tahu dia sudah berjodoh. Sakit itu, yang ada di dalam hatimu sampai sekarang, tidak akan pernah bisa kusentuh. Tidak bisa kusembuhkan. Aku sadar diri sebagai pengganti yang ketika ijab kabul namaku kau ucapkan tanpa hati, tidak ada rasa. Namun, aku bersyukur ustaz di langgar turut mengangguk seusai saksi berujar sah.
Aku tidak bisa menuntut apa pun darimu. Keturunan pun tidak bisa. Seusai salat subuh dan tertidur sebentar, penglihatanmu akan berubah. Tidak ada lagi aku. Kau akan berseru, seperti yang sudah-sudah, agar aku mengenakan gamis dan menutup setengah wajah dengan cadar hitam. Seperti yang sering kau jumpai dari dirinya. Katamu, wajah cantikku tak pantas jadi tontonan orang. Tubuhku yang sekal hanya untuk kau seorang. Sebagaimana imam, kau berlaku layaknya kepala rumah tangga. Kau nasihati aku. Soal agama, anggaran, dan akhirat. Meski kita makan di pukul yang sama—delapan lewat lima—kau menganggap itu serupa sahur. Kau ajak aku berpuasa. Ujarmu, agar rumah tangga kita diberi kebahagiaan dan perlindungan dari-Nya. Kuikuti semua.
Menjelang tengah hari, agar kau tidak sumpek, kuajak kau keluar. Punggungmu tegap, jalanmu mantap. Ada bisikan setiap kali kita lewat, tetapi tidak pernah masuk ke telingamu dan telingaku sudah kebal dengan cemoohan mereka. Si kupu-kupu malam yang doyan mangkal di diskotek, yang demen rokok dan menelan pil ekstasi, serta tidur dengan siapa pun yang berani bayar, bisa menikah. Lebih dari itu, memakai pakaian tertutup nyaris sekujur badan. Banyak terkaan yang merebak, tetapi memang lebih baik didiamkan.
Saat di luar, kubiarkan kau memilih ke mana kita pergi. Pilihanmu tidak pernah berubah sejak pertama kuajak kau berkelana di Ibu Kota. Tempat pertama yang ingin kau kunjungi adalah Masjid Istiqlal. Kau ingin salat di sana, tetapi belum azan berkumandang. Lalu, kita berjalan kaki ke Monas. Hanya lewat depan pagarnya dan mendadak kau ingin ke toko buku. Kau beli buku tentang fikih. Kau juga mengambil buku tentang rumah tangga idaman seperti yang kemarin kita beli.
Sepanjang jalan, kau gandeng tanganku. Begitu sampai rumah, kau bisikkan kata-kata mesra. Kau belai kepalaku seraya berjanji akan memulai malam kita selepas isya, sesudah kita menyantap makanan. Namun, seperti hari-hari lalu, kau terlelap kala azan magrib bersahut-sahutan dan baru terjaga saat aku membuka pintu; pulang dengan pakaian perusak iman.
Di atas sajadah, kau bersila. Mulutmu komat-kamit. Terdengar halus suaramu mengucapkan segala puji-pujian. Tubuhmu sampai bergoyang pelan ke kanan-kiri. Sampai aku duduk di ujung sajadahmu, kau masih khusyuk beribadah.
“Allah cinta sama orang-orang yang beriman.”
Ceramahmu dimulai dengan kata-kata yang sama, lalu merembet pasti ke yang itu-itu lagi. Aku harus mendengar, menyimak, sedikit berkomentar, dan tidak boleh menyentuh. Anehnya, ini jauh lebih membuatku bergairah dibanding siang hari, ketika kau sadar statusku sebagai istri. Saat kau mau menyentuh dan membelai kepalaku. Kala kau bisikkan kata-kata cinta dan janji menghabiskan malam bersama. Hanya saja, pantulan matamu mengharapkan sosoknya yang pergi sebelum kau memulai. Namun, di sepertiga malam—yang kita habiskan dengan ocehanmu—cuma ada kau dan aku.
Entah sampai kapan seperti ini. Aku yang kotor dan kau yang bertingkah seperti ustaz. Namun, selama masih ada sepertiga malam yang melingkupi kita, selagi masih ada aku di pikiranmu meski sesaat, kita bisa memulai waktu yang lebih baik. Sampai saat itu ada, ingin rasanya sekali saja aku sumpal mulutmu dengan rokok.