Semua
perempuan yang kutemui memiliki satu impian sederhana yang sama, bertemu
seorang lelaki yang tepat dan hidup bersama orang itu selamanya.
Harusnya aku tidak heran kala Rubah
Betina menginginkan hal yang sama.
Nama aslinya Yem, tapi dia memilih
Rubah Betina sebagai nama panggung. Nama yang cocok dengan wajah ayu nan
binalnya.
"Mas Yedi kemarin ngelamar
saya," Yem berkata ringan sore ini, seolah perkara lamar-melamar adalah
hal sesepele menggoreng tempe.
Aku menyembunyikan kekagetan dengan
berdiam diri satu menit, menebak apa alasan gadis itu. “Karena saya enggak
dapat kerja? Kamu tahu saya tamat SD aja enggak.”
"Tentu saja bukan karena itu,"
sergah Yem. "Dan Mas harus berhenti ngomongin soal ijazah. Kepandaian
kerja sama nilai yang didapat dari hapalan itu soal lain. Mas bisa nulis, kirim
cara pikir dan keresahan Mas ke media. Mas bisa, kok, make kemampuan yang
enggak perlu dinilai pakai kertas cap pemerintah."
"Misalnya, nyanyi
dangdut?" aku menyindir. "Kamu kan sarjana, Yem. Kenapa malah
manggung jual goyang?"
"Emang kenapa dengan dangdut?"
Mata Yem berkilat tajam.
"Kamu menganggap dangdut
layaknya jenis musik lain, menikmatinya sebagai seni. Tapi orang lain? Pemain
orkesnya?" suaraku tercekik menyemburkan pelaku terakhir. Wajah Yedi,
dengan cambang norak gaya anak Rhoma Irama itu muncul mengganggu. "Mereka
datang untuk nelanjangin para biduan dengan mata liar mereka. Saya ... cuma
khawatir, dan rasa cemas bikin saya ngomong ngawur barusan. Sori ...."
Alangkah gampangnya meminta maaf
menggunakan bahasa yang bukan milik sendiri, seolah dengan begitu ada benteng
transparan yang melindungi harga diri dari rasa gengsi karena meminta maaf.
Yem mengesah. "Saya kasih tahu
Mas secara langsung karena saya menikmati diskusi dan debat kita selama ini,
saya kagum sama Mas, sayangnya enggak ada yang Mas lakukan untuk mengembangkan
itu. Yang Mas lakukan cuma membuang waktu, sekadar hidup, mengkritik sana-sini
tanpa membenahi diri sendiri." Ia menunduk sebentar, menyembunyikan
matanya yang basah. "Tadinya saya berharap, menunggu Mas mengambil
inisiatif. Perempuan zaman dulu diberkati keahlian untuk menunggu. Menunggu
para lelaki pulang perang, menunggu dalam pingitan, tapi saya tidak punya
kesabaran atau waktu untuk itu. Saya ingin hidup dengan orang yang berlari
bersama saya, bukan membiarkan saya menunggu."
Aku ingin menyanggahnya. Aku
seharusnya memberi pembelaan, tetapi suaraku hilang ditelan suara klakson.
Kami menoleh ke jalan bersamaan. Di
depan mulut gang, mobil lusuh bercat promo organ tunggal memarkir diri. Yedi
melambai dari jendela.
"Saya lupa manusia mana pun
pasti lebih memilih kenyamanan hidup, dengan secangkir teh panas manis seusai
kerja," tuduhku.
Yem tertawa saat berlalu. "Ah,
andai ini memang cuma masalah nasi kucing versus nasi rames, sekadar persoalan
materi, maka saya mungkin akan ada di sisimu."
***