Judul : Sang Keris
Penulis : Panji Sukma
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman : 124
Cetakan pertama Februari 2020
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman : 124
Cetakan pertama Februari 2020
Inilah runner up Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019 yang keluarnya lebih cepat daripada rekan seperjuangannya.
Dari judul, tentu bisa ditebak jika penceritaannya pasti seputar keris. Apalagi ditunjang dengan penampakan cover tiga lelaki berbeda zaman di mana merupakan tokoh yang tak bisa lepas dari pusaka keris.
Sebuah keris yang menjadi kiblat penceritaan dalam buku ini adalah Kyai Kanjeng Karonsih. Berbagai cerita menembus batas dimensi dengan bermacam-macam sudut pandang berjalan memutari Sang Keris. Sudut pandang kedua digunakan ketika membicarakan keris secara langsung. Sudut pandang ketiga dipakai ketika penceritaan seputar tokoh yang berkaitan dengan keris Kyai Kanjeng Karonsih. Sedangkan penggunaan sudut pandang pertama muncul saat bagian cerita tersebut lepas dari ikatan keris.
Perjalanan dimulai dari keresahan keris di masa kini yang hanya di gantung di atas pintu yang tak berguna lagi di zaman sekarang. Sungguh berbeda dengan dulu. Di mana keris memainkan peran penting dalam perebutan kejayaan dan menjadi saksi pengkhianatan, kesetiaan dan cinta terlarang.
Kisah mengalir bebas tanpa sekat. Penceritaan seputar perjalanan keris Kyai Kanjeng Karonsih berasal dari mana saja. Mulai dari kasta terendah, kisah kerajaan besar di Pulau Jawa, bromocorah, dunia para dewa, wali di tanah Jawa, nabi terakhir dan muridnya, lelaki tampan pengkhianat kerajaan, budak cinta, ciu Bekonang, presiden Republik Indonesia, dalang kondang, wayang Prabu Karna, istri seorang dalang dan ramalan Jangka Jayabaya.
Konsep Jawa baik secara budaya maupun kepercayaan mendominasi dalam novel ini. Banyak kosakata berbahasa Jawa yang berhubungan dengan keris dan falsafah Jawa yang sudah diartikan sehingga memudahkan pembaca untuk memahami. Namun masih ada beberapa yang belum dijelaskan seperti pada bagian pembentuk keris. Bagian terpanjang dalam penggunaan bahasa Jawa yaitu pada penulisan Gurit Tresna alias Syair Asmara yang menunjukkan kepiawaian penulis dalam merangkai tata bahasa Jawa lama.
Penulis memberikan sensasi membaca yang berbeda dengan menyuguhkan kisah non linier sehingga pembaca dibuat berpikir, tidak hanya sekedar larut dalam dunia cerita. Penuturan tentang latar yang merujuk pada peristiwa historis maupun mitologis dibuka sedikit demi sedikit sehingga di akhir bagian akan mendapati bahwa kejadian di bagian ini ternyata mengarah ke peristiwa X. Kejelian pembaca dituntut untuk menebak di zaman manakah mereka berada.
Ketika membaca tiap babnya, ada kalanya terasa begitu dekat dengan kehidupan yang dijalani keris Kyai Kanjeng Karonsih tetapi berikutnya terasa begitu jauh bahkan terkesan lepas dari rangkaian cerita, seperti pada kisah Palamea atau Sang Pencerah. Namun saya kembali sadar, kiblat cerita ini pada keris. Maka di situlah pembaca harus mencari dan menarik benang merah agar kembali ke jalan yang benar dan meneruskan kembali cerita yang membentuk lingkaran berlapis layaknya sebuah mandala dengan pusatnya. Berawal di akhir, berakhir di awal, berpusat pada keris. Begitu kiranya gambaran novel ini. Selamat membaca.