“They say women can’t play guitar as well as men. I don’t play the guitar with my fucking vagina, so what difference does it make?”
Tulisan itu terpampang di sebuah poster besar dilatari paras wanita yang sedang manyun. Bibirnya dipoles lipen merah menyala, mata pekat dipulas eyeshadow yang meriap gelap. Di sampingnya terbingkai wanita lainnya, bersayap, telanjang, sedang terjebak di sebuah dunia abstrak dengan matahari yang tampak jauh.
Tak lama gadis di sebelahku bangun, merayap ke ujung tempat tidur, meraih pakaian. Pandangannya lantas lekat ke arahku yang masih terbujur di sampingnya. “Hei,” sapaku. Dari sini terlihat jelas lakaran boneka Korn di baju yang baru dipakainya. Kemudian ia melayang ke ruangan lain dan kembali seraya menenteng minuman bersoda dengan sigaret yang tersumpal di sudut bibir.
“Siapa?” aku menunjuk wanita yang sedang manyun dengan bibirku, lalu beringsut memungut baju di lantai.
“Brody Dalle.” Ia jongkok di samping nakas, memutar Silverchair lalu terganti The Killers, tapi buru-buru diganti ke band Kanada yang yang tak pernah kuingat namanya. Lagu-lagu itu tak pernah selesai, ia terus menggantinya.
“Aku kira Courtney.”
“Courtney Love nggak sekeren itu, dia cuma bisa pamer tetek, lalu nikahin pesakitan yang ganteng. That’s all.” Ia menjatuhkan diri lagi di atas ranjang, terlentang mengadah langit-langit, mengembus-embuskan asap ke sana, lantas tersedak minumannya sendiri.
“Aku harus pulang.” Segera kukumpulkan kesadaran sisa-sisa mabuk semalam dalam kepala. Lengar masih meriap-riap.
“Kukira kau sudah akan lenyap ketika kubuka mataku. Sial, aku mendamba kopi,” ucapan terakhir yang kudengar dari mulutnya sebelum aku keluar kamar.
Kudapati seorang gadis kecil sedang memperhatikanku ketika menuruni tangga, mematung di dekat lemari pendingin. Sebentar-sebentar matanya teralih oleh tayangan kartun tv di sudut lalu kembali mencurigaiku. Bisa saja kutebak ia berusia kurang dari lima tahun. “Apa kau Dave?” tanyanya di penghabisan anak tangga yang kuturuni.
Aku berhenti sambil mendekatkan pandanganku ke manik cokelat matanya, “Dave Grohl? Nope, sepertinya aku Kurt Cobain,” jawabku sambil akhirnya pamit juga kepadanya, “bye.”
Sebelum kutarik knop dan keluar, terdengar bantingan pintu di atas, lalu suara hentakkan anak tangga, ada yang buru-buru menuruninya, “Hei, Dave, tunggu! Temani aku ngopi!” teriak yang baru turun sambil menyusulku. Dia tidak peduli ada gadis kecil yang hampir ditabraknya.
Gadis kecil yang kira-kira berusia lima tahun itu kembali menatapku sambil tersenyum yang tak kutahu artinya, “Bye, Dave.” Lantas lambaian tangan.
Kami pun berjalan menelusuri trotoar, melewati toko roti, toko sayur dan buah, barber & tatoo shop, dan beberapa bangunan tua tidak tepakai yang dicoreti gravity tak jelas. “Kau nggak ada acara apa-apa siang ini, kan?” tanyanya. Aku berpikir sejenak. “Bagus,” kata dia lagi. Ia berisyarat dan akhirnya masuk ke kedai kopi yang diceritakannya sepanjang jalan. “Hei, Dave, kau tahu, The Garbage payah semalam!” teriaknya kepada pria muram di balik counter. “Kau mau burger?” tanyanya padaku sambil menunjuk meja dekat jendela.
Aku menggeleng, “Kopi saja.”
“Nggak lapar?”
Aku menggeleng lagi.
“Dave, Tuhan tahu aku hampir mati kelaparan pagi ini, cepatlah!”
Kulihat pria di balik konter menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu berjalan ke arah meja yang kami duduki sambil menenteng mug kopi dan teko. “Pesan apa?” ia mengeluarkan pena dan kertas dari sakunya.
“Aku pesan yang biasa kumakan. Temanku sedang diet, dia akan mati sebentar lagi. Wait, aku sedang ingin minum kopi di mug yang berwarna merah. Kadang aku memintamu hal itu, aku yakin kau ingat itu, Dave.”
Pria muram itu mengangkat kembali mug yang sudah ia letakkan di depan kami. “Baik, mug merah, dan Tuhan tahu aku bukan Dave!” sungutnya sebelum beringsut lagi.
Kedai kopi itu sedang tak terlalu ramai. Selain wanita ber-blazer abu-abu, dan pria botak berkumis di pojok, hanya ada aku dan gadis ini. Kata dia, biasanya jam segini tempat ini sesak seperti kandang babi milik Mr. Bradley, “Tapi kau tahu, babi-babi itu menghilang begitu saja ketika orang tua itu mati.”
“Mereka mati juga?” tanyaku.
“Nggak, mereka benar-benar menghilang begitu saja. Lenyap, kabur dengan segala kemungkinannya. Babi-babi itu babi banget, kan?”
“Iya, mereka tahu diri, mereka adalah babi, bukan Brian McFadden, jadi sudah sepantasnya.”
“Seperti Axl Rose, ia tahu dirinya Axl-fuckin-Rose maka sikapnya begitu menyebalkan. Atau Fred Durst.”
“Atau Dave-fuckin-Grohl?”
Gadis itu cengir lalu menghirup mug kopinya. “Ah, rokokku ketinggalan di kamar. Apakah kau punya rokok?”
Lonceng pintu berdenting lagi, seorang pria tua terselak lalu masuk dan menghampiri pria botak berkumis di pojok. Setelah beberapa lama ia tak kunjung memesan apa-apa, hanya duduk dan tertawa-tawa.
“Apa kau komunis?” tanyaku sambil mengeluarkan rokok. Aku melihat mug besar di genggamannya dan juga ingat kamar gadis itu yang didominasi warna merah.
“Yeah, I’m so red. Maybe I should kiss Karl. Dan kita harus pindah keluar, si Dave akan marah kalau aku nekat merokok di sini. Bawa kopimu.” Potongan kentang goreng sebagian terjatuh ketika ia mengangkat tempat makanannya. Ia mengutuk Nancy Vicious lalu mengeluh lagi betapa lapar dirinya pagi ini.
Asap kini mengepul dari mulutnya, bergantian dengan kopi, potongan kentang goreng, dan makanan lainnya. “Kenapa?” tanyanya, sadar aku sedang memperhatikan.
“Kau merokok sambil makan.”
Dia tersenyum tipis sambil menyumpal rokok ke mulutnya, “Cara makanku memang seperti ini, lagian aku nggak niat hidup lama-lama, mungkin aku akan mati di umur dua lima.”
“Terus kau malah mati di umur dua puluh enam, ketabrak truk.”
“Iya,“ ia tergelak, “aku mirip gadis tolol dalam A Wild Sheep Chase itu, ya?”
Angin berembus menerpa rambutnya yang hampir sepinggang. Aku yakin dia tidak sempat membasuh muka sebelum berlari menuruni tangga tadi. Pulasan eyeliner meriap luntur di bawah matanya, dan tadi ia sudah menguap beberapa kali. Tetapi aku sungguh tidak tahu-menahu tentangnya. Sebelum berkali-kali mendapatinya sedang nonton The Distiller, atau Save Feris, dan tiba-tiba saja aku terbangun di kasurnya tadi pagi.
“Aku bahkan nggak tahu siapa dirimu, selain pemuja ketua Mao, dan seenaknya saja memanggil orang dengan nama Dave.”
“Kau hanya perlu menemaniku, aku rasa ini ulang tahunku. Kau tahu, tidak ada yang bakal menyukaimu ketika umurmu duatiga(1).”
Maka seharian itu aku menemaninya. Kami naik kereta ke pusat kota, memasuki toko kaset dan ia minta dibelikan album punk lokal. Beranjak siang kami menelusuri gang kumuh di belakang toko daging. Selagi ia menemui temannya, aku menunggu di dekat kios majalah, membuka-buka asal sebuah majalah ber-cover gadis pirang setengah telanjang.
“Sial, aku tidak dapat tambahan, padahal sudah kubilang ini ulang tahunku, si Dave pelit.” Ia kembali menarikku lantas memperlihatkan bungkusan berisi mariyuana. “Ayo kita ke taman seberang.”
Kami pun teler di bangku taman yang sepi, menertawakan orang-orang yang lewat dan berandai-andai dengan mereka, juga menertawakan diri sendiri ketika salah satu dari kami bergantian berdiri di atas bangku dan bernyanyi. Aku hampir tersungkur karena cekikikan melihatnya bernyanyi Anarchy In The UK, Sex Pistols. “Lagu ini akan kunyanyikan lagi ketika menina-bobokan bayiku nanti, kalau pun aku masih hidup untuk menikahi pria idiot, cabul, dan pesimis,” ucapnya setelah turun dan menarikku yang terduduk bodoh di tanah. “Nyanyikan Space Oddity bagiku, Dave!”
Aku pun berdiri dan menjelma Bowie.
“Baiklah, siapa namamu?” tanyaku, akhirnya.
“Tanpa tahu namaku pun, kau akan menyukaiku. Hail, Shakespeare!” dia mengangkat tangannya. “lang lebe unser ruhmvoller Fuhrer!”
Kami pun pulang setelah memakan kudapan pinggir jalan, dan berpisah. Waktu itu dia menyumpah dirinya masih kelaparan. “Oke, Dave, kunjungi aku kapan-kapan.” Kemudian dia mencium bibirku dan berlalu.
“Nomor teleponmu!” teriakku.
Dia hanya melambaikan tangannya tinggi-tinggi tanpa berbalik dan terus menjauh.
Setelah seminggu, aku mencoba menemuinya kembali. Aku naik trem dan sampai di rumahnya ketika siang. Seorang anak kecil perempuan muncul dari balik pintu yang sudah kuketuk beberapa kali. “Apa kakakmu ada?” tanyaku.
“Dia menghilang, Dave, seperti babi-babi milik Mr. Bradley. Kau tahu orang tua itu, kan?”
Dari keterangan adiknya, gadis itu menghilang seminggu lalu, persis setelah bertemu denganku. Sebulan kemudian aku kembali ke sana lagi, dan kata adiknya, kakaknya itu sudah betulan merupa babi. Lenyap.
“Lalu di mana orang tuamu?”
“Mereka juga sama, aku bahkan sudah melihat mulut mereka berubah jadi moncong. Dan mereka saling meneriaki dari dulu.”
“Namamu siapa?”
“Bye, Dave.” Ia menutup pintu.
Aku pun beringsut ke kedai kopi di dekat persimpangan. Pria murung pemilik kedai itu sedang sibuk, kuurungkan niatku untuk menanyakan perihal si gadis yang selalu memanggilnya Dave. Aku ingin tahu siapa sebenarnya gadis itu, namanya, atau apa saja mengenai dirinya. Sebelum beranjak keluar dan pulang, aku melihat orang tua botak berkumis masuk dan duduk di pojokan, menghampiri pria tua lainnya. Dan ia kembali tertawa-tawa tanpa memesan apa-apa. Rasanya kesadaranku baru menangkap kedai ini semakin riuh dan sesak. Aku sedang di dalam kandang babi Mr. Bradley. Aku tak mau menjadi salah satu babi orang tua itu lalu menghilang begitu saja.
***
Tidak ada yang terjadi setelah itu. Kuhadiri konser musik di suatu malam pertengahan tahun. Jonathan Davis dan musiknya sudah terdengar aneh dan menyimpang. The Offspring semakin tua dan tambah kaku di stage. Mereka mungkin sudah mawas diri dan melihat Dexter Holland tanpa kacamata itu sesuatu yang garib. Setidaknya aku bertemu teman-teman lama yang masih suka mabuk. Salah satu mereka akan terbangun di pinggiran trotoar sambil telanjang pada pagi harinya.
“Billy, apa kau tahu gadis yang bersamaku beberapa bulan ke belakang?” tanyaku. Aku harus segera menanyakan hal ini sebelum temanku tersiram kesadarannya lantas meracaukan Mandy Moore.
Ia tercenung, “Gwen Stefani?”
“Dia nggak pirang.”
“Aku tahu,” ucap Joel, “Piercing, tato mawar-tengkorak di lengan,” matanya ke atas sekarang, mengingat-ingat.
“Iya, dia,” ucapku.
“Haa... gadis yang muntah di parkiran,” sambut Billy.
Aku tak ingat dia muntah. Sialan, tak ada yang kuingat waktu itu. Lalu aku bertanya tentang siapa dia, dan keberadaannya sekarang. Mungkin mereka tahu.
“Kurasa dia memotong rambutnya lantas menggoda Tim Armstrong.”
“Dia perlu mengecat rambunya, dude.”
Sia-sia, mereka mulai meracau. Billy dan Joel kemudian menelanjangi Patrick Whoreblood dan meninggalkannya di taman kota. Sampai paginya seorang nenek ribut-ribut dan menyangkanya mayat gelandangan.
Aku tak pernah menemukan gadis itu atau mendengar kabar tentangnya lagi. Teman-teman pun sudah kapok mengajakku keluar ketika kuputuskan untuk berhenti menkonsumsi alkohol. Kemudian salah satu dari mereka mengenalkanku pada seorang gadis.
Gadis yang menyenangkan. Namanya Meredith. Pemuja James Van Der Beek dan bintang opera sabun lainnya. Bahkan ia bercerita masih memasang poster Hanson besar di kamarnya. Kata Billy, tiga bersaudara itu harusnya tak pernah tua dan segera pulang kampung ke Neverland memerangi kapten James Hook.
Meredith bahkan tertawa untuk candaanku yang garing, terbahak menyaksikan komedi slapstick, tetapi belakangan kutahu dia selalu menertawakan apa saja kecuali dirinya sendiri. Dan ia akan menghabiskan berjam-jam untuk menata rambutnya.
Ia pernah bertanya tentang Slipknot kepadaku ketika kuperlihatkan rekaman konser mereka. “Kenapa orang-orang itu memakai topeng?”
“Mereka asuhan Alan Moore,” ucapku.
“Alan Moore?”
“V for Vendetta.”
“V for Vendeta?”
Dan Meredith tidak sedang bercanda. Padahal, dia bisa milih untuk tertawa saja seperti yang sudah-sudah. Sejak itu aku rasa aku bisa membodohi gadis ini.
Tetapi nyatanya dia yang menyelingkuhiku. Meredith meminta putus dan lari ke pelukan Patrick Whoreblood. Mereka lalu menikah dan mempunyai tiga anak kembar yang semuanya dinamai Patrick.
Aku, Billy dan Joel datang ke pernikahannya. Patrick tersenyum awkward ketika aku menyalaminya, sedangkan Meredith memelukku terharu dan bilang, “I will,” ketika aku medo’akan semoga kau bahagia.
Billy dan Joel bersumpah padaku akan menelanjangi Patrick suatu hari nanti dan mengikatnya di bangku taman. Aku percaya mereka tidak akan sanggup melakukannya sekarang, karena mereka pun sudah berhenti minum. Billy menjadi pengacara dan Joel OD. Ia terlanjur mati menyusul Brandon dalam lagunya The Offspring.
Dan aku? Akhirnya aku sadar dan menyusuri kembali jalan ke kandang. Berayun gelas vodka di tangan tanpa satu pun harapan yang mengepul ke awan. Dan ternyata kudapati gadis penyuka warna merah itu di sana. Dia berbisik padaku, “Dave, aku sudah dua lima, demi Tuhan, sekarang aku takut mati.” Kami pun berkumpul kembali bersama babi-babi lainnya di kandang Mr. Bradley.
----------fin----------
(1) Blink 182, what’s my age again
Zeth, 2015