Penulis: Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia
Tahun: 2019
Jumlah Halaman: 165
Buku ini merupakan kumpulan cerpen Ahmad Tohari. Ada sekitar lima belas cerita yang bisa dinikmati dalam sekali lahap.
Buku ini diterbitkan pertama kali di tahun 2013, dengan versi sampul baru berwarna merah menyala. Di app ipusnas pun buku ini tersedia dengan sampul lamanya berwarna kuning dengan gambar sepasang mata yang sedang melotot.
Over all, ada empat cerpen yang nyangkut banget di hati saya. Tema cerpen secara keseluruhan merupakan deskripsi kehidupan masyarakat jelata pada umumnya, masyarakat pedesaan, dan kaum marjinal.
Berikut ini sinopsis dari empat cerpen yang saya sukai.
1. Dawir, Turah, dan Totol
Dawir, Turah, dan Totol adalah realitas kehidupan gelandangan di Indonesia. Hidup di terminal, memanfaatkan ruang kosong di antara bilik bilik ruang publik pada saat tengah malam.
Kehidupan yang keras, seperti dipalak oleh preman, ditangkap satpol PP, sampai soal kehidupan seksual yang bersifat transaksional ditulis dengan cara yang santun dan santuy. Gimana ya?
Emm, rasanya yang membuat saya kecantol banget sama cerita ini adalah ironi yang ditulis dengan guyon ringan. Seolah semua kesulitan hidup tokoh utamanya merupakan kejadian harian biasa yang kadangkala terjadi.
Dawir, Turah, Totol, itu sendiri merupakan gelandangan yang merangkap sebagai pengamen dan pencopet. Mereka bertiga berlaku sebagai tokoh ayah, emak, dan anak, yang sebenarnya juga tidak jelas apakah memang benar Dawir adalah ayah Totol atau bukan. Tapi itu bukan masalah, dan semua yang ada di terminal juga sudah mendaulat mereka sebagai keluarga.
Endingnya lumayan oke. Dawir dihajar sampai biru biru di kantor polisi sedangkan Turah dan Totol menikmati roti mahal dari hasil Dawir mencopet.
2. Mata yang Enak Dipandang
Tokoh dalam cerpen ini adalah dua pengemis, di mana yang buta bernama Mirta dan penuntunnya bernama Tarsa.
Adegan dimulai ketika Mirta sedang dijemur di tengah matahari. Ia sengaja ditinggalkan oleh penuntunnya demi segelas es limun.
Selanjutnya, Mirta jatuh sakit dan mati. Sudah. Ending.
Cerpen ini memang sangat sederhana, tetapi cukup magis dan saya suka dengan deskripsi yang sangat detail dari penulis. Narasi tentang bagaimana rasanya menjadi buta dan dijemur di tengah jalan, bagaimana rasanya limbung dan terpuruk di bawah bayangan pohon kerai, dan bagaimana rasanya dipandangi oleh mata-mata yang tajam seperti mata bambu oleh penumpang kereta api kelas satu, dapat membuat pembaca paham tentang realitas kehidupan masyarakat kelas bawah.
3. Paman Doblo Merobek Layang-Layang
Cerpen Paman Doblo ini mengambil sudut pandnag orang pertama buman tokoh utama. Diceritakan bahwa "aku" adalah anak desa yang gemar sekali bermain bersama Paman Doblo. Sosok Paman Doblo ini adalah pahlawan desa, simbol keamanan, dan segalanya lah.
Ia adalah perjaka yang jago main silat, ramah pada anak-anak, dan selalu mengutamakan penduduk desa dalam setiap kondisi dan suasana. Sampai pada akhirnya, kedatangan perusahaan kilang pengolahan kayu mengubah jalan cerita.
Paman Doblo yang diangkat menjadi penjaga keamanan perusahaan, mendadak berubah perangai. Ia menjadi galak dan selalu penuh curiga terhadap penduduk desa.
Hemmm, menurut saya ini cerita yang menyentuh meski narasinya ga bisa dibilang romantis. Cerpen ini cocok untuk jadi bahan bacaan para bocah remaja karena punya nilai moral yang tinggi.
Perusahaan memang seringkali memanfaatkan penduduk lokal untuk menjadi salah satu staffnya. Kemudian, menetapkan garis-garis keras tentang batasan untuk menciptakan jurang sosial dan finansial.
4. Pemandangan Perut
Ini adalah cerita yang juga memiliki tokoh "aku" bukan sebagai pemeran utama. Tersebutlah Sardupi, warga desa yang agak sinting karena suka tertawa tidak jelas, tengah dipukuli habis-habisan oleh preman pasar.
Ia pulang ke rumah dengan badan yang remuk redam. Kemudian tokoh "aku" sebagai satu-satunya yang merasa bahwa Sardupi waras, menjenguk dan bertanya perihal alasan ia dipukuli.
Sardupi menceritakan tentang kemampuannya melihat manusia dengan bentuk yang berbeda. Nah, mulai dari sini ceritanya mulai seru.
Kata Sardupi, perut manusia selalu mempertontonkan suatu tayangan yang kebanyakan mengerikan. Hanya perut anak-anak yang enak untuk dipandang.
Endingnya sih yang nendang.
Tokoh "aku" bertanya tentang dirinya. Apa yang kamu lihat di dalam perutku?
Piring-piring kaleng yang berserakan, jawab Sardupi. Tokoh aku seketika mematung dan langsung pulang ke rumah.
Aku sendiri masih berusaha meraba apa maksud dari piring-piring ini. Apa ia pencuri makanan di rumah tetangganya atau berselingkuh dengan tetangganya.
Entahlah. Tapi, cerpen yang endingnya justru menimbulkan tanda tanya seperti ini lumayan membawa efek pedas karet dua.
Sekian review kumcer kali ini. Saya mau cuci piring dulu.