Judul: About a Girl
Penulis: Zeth
----------
“Apa ini Paul McCartney?” Telunjuk pemuda itu mengarah ke salah satu hidung dari empat orang yang tampak ceria di poster. “Suatu saat mungkin aku akan memotong model rambutku seperti mereka.”
Yang ditanya tidak menjawab. Si Gadis hanya menjebik bibir diiringi anggukan kepala yang pelan. Matanya masih mengikuti kaki-kaki penari balet pada layar kaca di depannya. Penari-penari itu jelas masih kecil, terlihat senang memakai leotard ketat. Tutu klasik yang terbawa gerakan angin saat mereka berputar membuat senyum mereka tambah sumringah dan tentu saja tak usah pusing memikirkan biaya kursus yang mahal segala ketika pakaian mereka mulai dibasahi keringat.
“Aku lapar,” rengek pemuda yang kini melemparkan spidol ke sampingnya.
“Pizza?” Dua orang ballerina maju, memamerkan Pas De Deux. “Aku lagi punya uang.”
Si Pemuda buru-buru beringsut ke kamar lalu memakai kemeja berbahan flannel kotak-kotak berwarna cerah.
Gadis itu tahu pacarnya suka warna cerah terlebih kuning, juga lumberjack atau sweater kucel. Tivi dimatikan, ia beranjak lalu mendapati Paul McCartney rambutnya sudah berubah jadi kribo dan memakai kacamata dari spidol.
“Dipikir-pikir aku takkan sudi memotong poniku seperti mereka sampai aku mati,” ucap si Pemuda pengangguran itu sambil berlalu menuju pintu untuk keluar.
Pacarnya tahu kecendrungan si Pemuda yang suka mencoreti tembok, makanya mereka memenuhi dinding dengan poster-poster band. Kadang pemuda itu akan membalik posternya, sehingga bagian belakang yang kosong bisa ia gambari. Kanvas-kanvas kertas itu menyesaki dinding ruangan depan, juga kamar tidur. Ia bahkan menulisi poster besar Led Zeppelin di kamar tidurnya dengan; pecundang, pemabuk, alkoholik, busuk, sampah, muntaber, arthritis, asusila, ganggren, pneumia. Lalu d kulkas ada mozaik photo yang terbentuk dari gambar medis daging vagina penyakitan. Di dekatnya terpampang karikatur Iggy Pop entah sedang melakukan apa.
Sampai di gang, mereka lalu berjalan saling bergandengan ke kedai di Fourth Avenue.
“Nanti akan kubuat Fettucine Alfredo yang enak untukmu,” bujuk si Pemuda.
“Vanilla Chicken?”
“Kalau aku sudah punya uang.”
Gadis itu pertama kali bertemu si Pemuda di depan klub punk rock di Seattle, sedang teler bersama temannya, Buzz. Di tangannya masih terayun minuman keras berlabel murahan. Si Gadis langsung menyapa karena pernah melihatnya beberapa kali bermain di konser-konser musik. Perhatian si Pemuda teralihkan pesona si Gadis, sampai datang mobil patroli yang langsung menggiring ia dan temannya ke kantor polisi.
Pemuda itu dan temannya, Buzz, dibui beberapa hari.
Setelahnya mereka sering bertemu di konser-konser punk, mabuk bareng, dan akhirnya pacaran. Kendati umur si Gadis lebih tua satu tahun daripada si Pemuda. Tak lama, beberapa bulan setelah pertunjukan band-nya yang tak sukses, pemuda itu meninggalkan kediamannya dan berniat menumpang hidup di apartemen si Gadis.
“Cuma ini?” ucap gadis itu sewaktu melihat bawaan si Pemuda yang hanya berupa beberapa potong pakaian, setumpuk kaset, dan kandang tikus yang kosong. “Kamu bilang akan selamanya?”
“Aku juga membawa batok kepala yang penuh omong kosong, Girl.”
Apartemen milik si Gadis memang kecil, berbanding lurus dengan harga sewanya, dan bisa dibilang beruntung karena harga itu termasuk perabotan yang ada di dalamnya. Namun intinya, gadis itu tak mengeluhkan kedatangan pacarnya yang pengangguran.
Diam-diam, si Pemuda mengakui bahwa pacarnya memang dewasa. Tak disangkanya ada kelopak kosong miliknya yang terisi. Ruang yang selama ini selalu ia sembunyikan, dan ia hanya bisa menghiasnya dengan kebencian.
Gadis itu bekerja di sebuah kafetaria pabrik pesawat di Seatlle. Shift malam mengharuskannya berangkat jam sepuluh malam, lalu pulang esok paginya pukul sembilan. Sebelumnya ia sempat mengeluh setiap pulang kerja apartemennya selalu berantakan. Lantas ia menyuruh pacarnya yang tak ada kerjaannya itu bagi-bagi tugas.
“Aku bisa mencuci piring,” ujar si Pemuda. Ia sadar, dirinya hanya penumpang di tempat itu, dan si Gadis lah yang selama ini telah mengurus segalanya.
“Ngepel juga.”
Si Pemuda mengangguk lalu mengabdikan dirinya sebagai bapak rumah tangga. Setelah semuanya selesai, dia bermain gitar listrik, mencoret-coret kanvas kertasnya atau menulis lirik lalu kembali mengutuk dirinya sendiri.
“Kau tahu itu apa?” si Pemuda menunjuk lukisan yang seharian ia buat kepada pacarnya yang baru datang kerja. “Aku telah memberikan sentuhan kehidupan di dalamnya.”
Sebuah lukisan abstrak, pikir si Gadis. Ia juga melihat kanvas betulan dan cat-cat bekas yang pasti dibeli dari pasar loak. Si Pemuda hanya mengekeh tanpa memberitahu perihal lukisan yang dibuatnya. Belakangan gadis itu tahu, permukaan lukisan itu juga diwarnai oleh cairan semen pacarnya. Pemuda itu menjual lukisannya ke tetangga dengan harga lima dollar. Tetangganya tidak tahu suatu saat nanti gambar tak jelas itu akan sangat mahal harganya.
Beberapa bulan kemudian pemuda itu akhirnya bekerja, meski kerjaannya hanya tukang bersih-bersih. Lantas mereka jadi jarang berkomunikasi.
Di ulang tahunnya ke 21 si Pemuda berhenti merokok, dan meminta orang di sekitarnya untuk tak merokok di dekatnya. Kendati si Pemuda senang angka duasatu begitu ajaib untuknya. Dengan angka itu berarti ia sudah bisa bebas berhilir-mudik ke toko minuman keras di simpang jalan. Di hari ulang tahunnya ada sebotol Thunderbird, sekotak pizza di meja dan pacar terbaik sedunia di sampingnya. Sedangkan Black Flag sedang membisingkan “Nothing Left Inside” di pojokan.
“Aku selalu bilang kepada teman-temanku, kamu adalah pacar terbaik.”
“Ke siapa?”
“Buzz.”
“Buzz manusia tak berguna.”
Cuma setelah beberapa lama si Pemuda bekerja, lalu menyicil sebuah mobil Datsun tua dari uang gajinya yang tak seberapa, ia lantas menolak membereskan rumah lagi karena sudah muak bersih-bersih terus. Gadis itu tak komplen. Mereka masih suka menonton konser punk di sekitaran Olympia, pergi makan pizza ke Fourth Avenue atau belanja bareng ke Laundromart. Meski si Pemuda sudah mulai jarang pulang, untuk tour band ke luar kota. Band yang ia miliki sedang mulai sibuk merangkak, dan mulai rekaman di label indie.
Suatu sore gadis itu sedang menonton acara music di tivi. Sebuah band rock yang vokalisnya tidak disukai pacarnya. ‘Sweet Child O’ Mine’ terdengar cemplang. Teh yang ia seduh sudah dingin dan mulai dikerubungi semut. Ia teringat si Pemuda yang sudah lama tidak pulang dan baru semalam dia menelepon, bilang bahwa ia telah meniduri wanita lain.
***
Tentu saja ia telah menyadari, cepat atau lambat, pemuda itu akan berjarak darinya. Ia kadang memandang lama lukisan-lukisan tak jelas yang dibuat oleh si Pemuda di dinding apartemen sambil terus mengaduk kopi yang sekarang jarang tandas. Ia penasaran kapan akan mencopot semua poster-poster itu.
Lalu ia mulai jarang menghadiri konser-konser punk layaknya dulu. Berhenti minum-minuman keras dan secara tak langsung menjauh dari lelaki dengan mimpi besarnya itu.
“Apa kamu nggak menciptakan lagu untukku?” Gadis itu sempat bertanya.
Pada Natal di tahun ketiga kebersamaan mereka, pemuda itu menghadiahinya sebuah majalah katalog tentang meja kopi seharga seratus dollar. Teman-temannya masih menyebut mereka adalah pasangan yang mesra. Rasa mesra yang hambar, sebenarnya, pikir si Gadis, pun si Pemuda.
Terlebih, si Pemuda kini bisa dibilang sudah mapan, band-nya mulai terkenal. Tidak ada lagi dukungan finansial yang ia butuhkan. Sikapnya mulai berubah. Dan mereka akhirnya berpisah.
Kemudian ia mulai sering mendengar lagu si Pemuda diputar stasiun-stasiun radio lokal dan besar. Mendengar kesibukan band yang dimilikinya tour ke berbagai negara. Memuncaki tangga-tangga barometer musik. Ketika melihat video klip pertamanya di tivi, si Gadis tersenyum simpul melihat seorang lelaki tua memegang tongkat pel dan ember di video klip tersebut. Itu adalah kerjaan pemuda itu dulu yang sengaja disisipkan.
Pemuda itu telah membuat sejarah musik, sebuah era baru, dan pandangan-pandangan yang membuat perubahan masiv. Walau rasanya gadis itu tak peduli, meski ia tahu hal tersebut akan terjadi. Si Pemuda juga telah mengawini seorang diva punk rock—yang kemudian dibenci teman-temannya. Pemuda itu menjelma sebagai kiblat baru kepala-kepala yang penuh omong kosong. Pesakitan yang memanjakan penderitaannya sendiri.
Sampai suatu saat pemuda itu bunuh diri, seperti yang selalu ia bilang kepadanya dan semua orang. Tetapi saat itu si gadis sudah mendapat jawaban atas pertanyaannya, bahwa si Pemuda telah menciptakan satu lagu untuknya, meskipun ia sendiri tak pernah memberitahunya secara langsung.
Lagunya berjudul “About a Girl.”
*gambar dari Pinterest
_______
Diambil dari lagunya Nirvana yang berjudul sama.
Cerpen ini dibuat Untuk teman-teman gw yang gondrong—yang sialnya nasib malah membaptis mereka dengan album Nevermind.
Penulis: Zeth
----------
“Apa ini Paul McCartney?” Telunjuk pemuda itu mengarah ke salah satu hidung dari empat orang yang tampak ceria di poster. “Suatu saat mungkin aku akan memotong model rambutku seperti mereka.”
Yang ditanya tidak menjawab. Si Gadis hanya menjebik bibir diiringi anggukan kepala yang pelan. Matanya masih mengikuti kaki-kaki penari balet pada layar kaca di depannya. Penari-penari itu jelas masih kecil, terlihat senang memakai leotard ketat. Tutu klasik yang terbawa gerakan angin saat mereka berputar membuat senyum mereka tambah sumringah dan tentu saja tak usah pusing memikirkan biaya kursus yang mahal segala ketika pakaian mereka mulai dibasahi keringat.
“Aku lapar,” rengek pemuda yang kini melemparkan spidol ke sampingnya.
“Pizza?” Dua orang ballerina maju, memamerkan Pas De Deux. “Aku lagi punya uang.”
Si Pemuda buru-buru beringsut ke kamar lalu memakai kemeja berbahan flannel kotak-kotak berwarna cerah.
Gadis itu tahu pacarnya suka warna cerah terlebih kuning, juga lumberjack atau sweater kucel. Tivi dimatikan, ia beranjak lalu mendapati Paul McCartney rambutnya sudah berubah jadi kribo dan memakai kacamata dari spidol.
“Dipikir-pikir aku takkan sudi memotong poniku seperti mereka sampai aku mati,” ucap si Pemuda pengangguran itu sambil berlalu menuju pintu untuk keluar.
Pacarnya tahu kecendrungan si Pemuda yang suka mencoreti tembok, makanya mereka memenuhi dinding dengan poster-poster band. Kadang pemuda itu akan membalik posternya, sehingga bagian belakang yang kosong bisa ia gambari. Kanvas-kanvas kertas itu menyesaki dinding ruangan depan, juga kamar tidur. Ia bahkan menulisi poster besar Led Zeppelin di kamar tidurnya dengan; pecundang, pemabuk, alkoholik, busuk, sampah, muntaber, arthritis, asusila, ganggren, pneumia. Lalu d kulkas ada mozaik photo yang terbentuk dari gambar medis daging vagina penyakitan. Di dekatnya terpampang karikatur Iggy Pop entah sedang melakukan apa.
Sampai di gang, mereka lalu berjalan saling bergandengan ke kedai di Fourth Avenue.
“Nanti akan kubuat Fettucine Alfredo yang enak untukmu,” bujuk si Pemuda.
“Vanilla Chicken?”
“Kalau aku sudah punya uang.”
Gadis itu pertama kali bertemu si Pemuda di depan klub punk rock di Seattle, sedang teler bersama temannya, Buzz. Di tangannya masih terayun minuman keras berlabel murahan. Si Gadis langsung menyapa karena pernah melihatnya beberapa kali bermain di konser-konser musik. Perhatian si Pemuda teralihkan pesona si Gadis, sampai datang mobil patroli yang langsung menggiring ia dan temannya ke kantor polisi.
Pemuda itu dan temannya, Buzz, dibui beberapa hari.
Setelahnya mereka sering bertemu di konser-konser punk, mabuk bareng, dan akhirnya pacaran. Kendati umur si Gadis lebih tua satu tahun daripada si Pemuda. Tak lama, beberapa bulan setelah pertunjukan band-nya yang tak sukses, pemuda itu meninggalkan kediamannya dan berniat menumpang hidup di apartemen si Gadis.
“Cuma ini?” ucap gadis itu sewaktu melihat bawaan si Pemuda yang hanya berupa beberapa potong pakaian, setumpuk kaset, dan kandang tikus yang kosong. “Kamu bilang akan selamanya?”
“Aku juga membawa batok kepala yang penuh omong kosong, Girl.”
Apartemen milik si Gadis memang kecil, berbanding lurus dengan harga sewanya, dan bisa dibilang beruntung karena harga itu termasuk perabotan yang ada di dalamnya. Namun intinya, gadis itu tak mengeluhkan kedatangan pacarnya yang pengangguran.
Diam-diam, si Pemuda mengakui bahwa pacarnya memang dewasa. Tak disangkanya ada kelopak kosong miliknya yang terisi. Ruang yang selama ini selalu ia sembunyikan, dan ia hanya bisa menghiasnya dengan kebencian.
Gadis itu bekerja di sebuah kafetaria pabrik pesawat di Seatlle. Shift malam mengharuskannya berangkat jam sepuluh malam, lalu pulang esok paginya pukul sembilan. Sebelumnya ia sempat mengeluh setiap pulang kerja apartemennya selalu berantakan. Lantas ia menyuruh pacarnya yang tak ada kerjaannya itu bagi-bagi tugas.
“Aku bisa mencuci piring,” ujar si Pemuda. Ia sadar, dirinya hanya penumpang di tempat itu, dan si Gadis lah yang selama ini telah mengurus segalanya.
“Ngepel juga.”
Si Pemuda mengangguk lalu mengabdikan dirinya sebagai bapak rumah tangga. Setelah semuanya selesai, dia bermain gitar listrik, mencoret-coret kanvas kertasnya atau menulis lirik lalu kembali mengutuk dirinya sendiri.
“Kau tahu itu apa?” si Pemuda menunjuk lukisan yang seharian ia buat kepada pacarnya yang baru datang kerja. “Aku telah memberikan sentuhan kehidupan di dalamnya.”
Sebuah lukisan abstrak, pikir si Gadis. Ia juga melihat kanvas betulan dan cat-cat bekas yang pasti dibeli dari pasar loak. Si Pemuda hanya mengekeh tanpa memberitahu perihal lukisan yang dibuatnya. Belakangan gadis itu tahu, permukaan lukisan itu juga diwarnai oleh cairan semen pacarnya. Pemuda itu menjual lukisannya ke tetangga dengan harga lima dollar. Tetangganya tidak tahu suatu saat nanti gambar tak jelas itu akan sangat mahal harganya.
Beberapa bulan kemudian pemuda itu akhirnya bekerja, meski kerjaannya hanya tukang bersih-bersih. Lantas mereka jadi jarang berkomunikasi.
Di ulang tahunnya ke 21 si Pemuda berhenti merokok, dan meminta orang di sekitarnya untuk tak merokok di dekatnya. Kendati si Pemuda senang angka duasatu begitu ajaib untuknya. Dengan angka itu berarti ia sudah bisa bebas berhilir-mudik ke toko minuman keras di simpang jalan. Di hari ulang tahunnya ada sebotol Thunderbird, sekotak pizza di meja dan pacar terbaik sedunia di sampingnya. Sedangkan Black Flag sedang membisingkan “Nothing Left Inside” di pojokan.
“Aku selalu bilang kepada teman-temanku, kamu adalah pacar terbaik.”
“Ke siapa?”
“Buzz.”
“Buzz manusia tak berguna.”
Cuma setelah beberapa lama si Pemuda bekerja, lalu menyicil sebuah mobil Datsun tua dari uang gajinya yang tak seberapa, ia lantas menolak membereskan rumah lagi karena sudah muak bersih-bersih terus. Gadis itu tak komplen. Mereka masih suka menonton konser punk di sekitaran Olympia, pergi makan pizza ke Fourth Avenue atau belanja bareng ke Laundromart. Meski si Pemuda sudah mulai jarang pulang, untuk tour band ke luar kota. Band yang ia miliki sedang mulai sibuk merangkak, dan mulai rekaman di label indie.
Suatu sore gadis itu sedang menonton acara music di tivi. Sebuah band rock yang vokalisnya tidak disukai pacarnya. ‘Sweet Child O’ Mine’ terdengar cemplang. Teh yang ia seduh sudah dingin dan mulai dikerubungi semut. Ia teringat si Pemuda yang sudah lama tidak pulang dan baru semalam dia menelepon, bilang bahwa ia telah meniduri wanita lain.
***
Tentu saja ia telah menyadari, cepat atau lambat, pemuda itu akan berjarak darinya. Ia kadang memandang lama lukisan-lukisan tak jelas yang dibuat oleh si Pemuda di dinding apartemen sambil terus mengaduk kopi yang sekarang jarang tandas. Ia penasaran kapan akan mencopot semua poster-poster itu.
Lalu ia mulai jarang menghadiri konser-konser punk layaknya dulu. Berhenti minum-minuman keras dan secara tak langsung menjauh dari lelaki dengan mimpi besarnya itu.
“Apa kamu nggak menciptakan lagu untukku?” Gadis itu sempat bertanya.
Pada Natal di tahun ketiga kebersamaan mereka, pemuda itu menghadiahinya sebuah majalah katalog tentang meja kopi seharga seratus dollar. Teman-temannya masih menyebut mereka adalah pasangan yang mesra. Rasa mesra yang hambar, sebenarnya, pikir si Gadis, pun si Pemuda.
Terlebih, si Pemuda kini bisa dibilang sudah mapan, band-nya mulai terkenal. Tidak ada lagi dukungan finansial yang ia butuhkan. Sikapnya mulai berubah. Dan mereka akhirnya berpisah.
Kemudian ia mulai sering mendengar lagu si Pemuda diputar stasiun-stasiun radio lokal dan besar. Mendengar kesibukan band yang dimilikinya tour ke berbagai negara. Memuncaki tangga-tangga barometer musik. Ketika melihat video klip pertamanya di tivi, si Gadis tersenyum simpul melihat seorang lelaki tua memegang tongkat pel dan ember di video klip tersebut. Itu adalah kerjaan pemuda itu dulu yang sengaja disisipkan.
Pemuda itu telah membuat sejarah musik, sebuah era baru, dan pandangan-pandangan yang membuat perubahan masiv. Walau rasanya gadis itu tak peduli, meski ia tahu hal tersebut akan terjadi. Si Pemuda juga telah mengawini seorang diva punk rock—yang kemudian dibenci teman-temannya. Pemuda itu menjelma sebagai kiblat baru kepala-kepala yang penuh omong kosong. Pesakitan yang memanjakan penderitaannya sendiri.
Sampai suatu saat pemuda itu bunuh diri, seperti yang selalu ia bilang kepadanya dan semua orang. Tetapi saat itu si gadis sudah mendapat jawaban atas pertanyaannya, bahwa si Pemuda telah menciptakan satu lagu untuknya, meskipun ia sendiri tak pernah memberitahunya secara langsung.
Lagunya berjudul “About a Girl.”
*gambar dari Pinterest
_______
Diambil dari lagunya Nirvana yang berjudul sama.
Cerpen ini dibuat Untuk teman-teman gw yang gondrong—yang sialnya nasib malah membaptis mereka dengan album Nevermind.