Aku selalu menatap cermin yang retak di sepertiga bagian atasnya di dentang jam keenam hingga ketujuh pada pagi anggarakasih. Saat itu jendela kayu besar di kamarku yang mengarah tepat ke serambi rumahmu pasti sudah terbuka. Serambi itu adalah tempat di mana kau habiskan pagimu sebelum berangkat ke sawah. Mungkin tak pernah kau sadari jika kita memiliki rutinitas yang tak pernah berubah setiap rentang waktu itu. Aku mematut diri, menyugar dan berlama-lama mengepang rambut ikal sepinggangku ke arah kanan saja sembari terus memandang bayangmu dari cermin. Sedangkan kau bermain riang bersama peliharaanmu, masih dengan kaus dalam putih, celana pendek dan sarung kotak-kotak warna hijau ketupat yang kau selempangkan di pundak kirimu. Selalu seperti itu selama dua musim. Tak ada perubahan berarti kecuali harapanku padamu yang membuat jantungku seakan tak berhenti memompa.
Semilir angin pagi membawa aroma harum bunga nan menenangkan dari dua sejoli pohon kantil dan kenanga yang menjadi batas rumah kita yang hanya berjarak dua depa. Cabangnya menari-nari, menutupi bayang dirimu. Ketika angin mengarahkan ranting-ranting itu ke arah lain, kulihat matamu menatap ke arah cermin di depanku. Dadaku serasa hidup kembali penuh denyutan. Oh, harusnya kita bisa saling memandang tanpa perantara cermin. Nyatanya aku tak sanggup. Oh, andai saja mataku tak turunkan rasa seperti ini ....
Samar kulihat sosok wanita membawa teko, cangkir dan sepiring gorengan di atas nampan, menunggumu di beranda rumah. Kau beralih pandang dari cermin ke wujud yang lebih nyata. Wanita dengan panjang rambut sama denganku. Wanita dengan kepang rambut sama denganku. Wujud yang nyaris serupa denganku. Dia menuang teko berisi teh hijau tanpa gula ke dalam cangkir bening dan menyerahkannya padamu. Kau dan aku punya rutinitas yang tak memiliki perubahan besar, kecuali bertambahnya rasa pedih ketika aku pun punya jadwal yang sama saat menyesap pahitnya teh hijau tanpa gula.
Kuangkat cangkir beningku, rata dengan dagu. Kau pun melakukan hal sama dan berpaling menatap cermin kembali. Manakala kuteguk minuman yang telah tersaji sejak dentang jam keenam belum berbunyi, aku selalu berharap pahitnya rasa teh ini akan membuatku kebal pada kelatnya kehidupan semu yang kujalani. Nyatanya semua masih sama. Justru semakin hambar dari musim ke musim. Bahkan mungkin periode waktu berikutnya aku bisa saja tak kenal rasa, tak kenal hambar.
Ah, seandainya aku yang berada di sampingmu .... Namun pengandaian sekecil apa pun kepadamu hanyalah kemustahilan yang tak mungkin kurengkuh. Inilah momen ketika mataku mulai kabur karena genangan air yang tak mampu kubendung. Seseorang telah bersanding denganmu. Dia ... wanita yang serupa denganku layaknya aku dalam cermin yang retak di sepertiga bagian atasnya, serupa dengan rasaku padamu yang retak di sepertiga tahun kemarin. Kutatap pantulan belahan ragaku yang bahagia di seberang sana. Kau memilikinya dan bisa membayangkan dia sebagai aku. Tetapi aku tak pernah bisa memilikimu selain bayangmu dari cermin di setiap dentang jam keenam hingga ketujuh di pagi anggarakasih.
Wanita itu masuk kembali. Seperti pagi anggarakasih sebelumnya, kau memberi isyarat padaku agar berbalik dari cermin, mendekat ke jendela. Aku menggeleng. Kuangkat beberapa lembar kertas yang tak pernah berubah posisi di meja rias selama dua musim, lantas menunjuk bayangmu di cermin. Aku sungguh berharap kau paham akan isyaratku.
Tanpa sengaja aku menyiku cangkir teh ketika lenganku terangkat. Nyaris seluruh meja tergenang. Lembaran-lembaran yang belum basah kusingkirkan begitu saja, terserak di lantai. Belum selesai kubersihkan cairan itu, pagi menunjukkan ketidakikhlasannya dengan mengirim angin, menerbangkan lembar-lembar yang selama ini tak terjamah ke arahmu.
Selembar jatuh tepat di ujung kakimu. Dari cermin kulihat kau mengernyit setelah membaca kertas itu. Ratusan tanya dalam tatapmu sudah mulai mendenging di telingaku. Tolong, jangan pernah injak kamarku atau kau akan melihatku kembali tenggelam dalam kesedihan.
Sudah kuduga kau mengabaikannya. Langkahmu penuh ambisi, mendatangiku lewat jendela kayu besar yang dapat dilangkahi dua manusia sekaligus. Tak ada yang bisa kulakukan selain tetap duduk memandangmu di depan cermin.
“Jadi ini yang ingin kau sampaikan? Terlambat! Bapakmu sudah mengambil alih semuanya setelah ia terpilih jadi orang penting. Semua hasil panen di kampung ini sudah dipatok dengan harga mencekik bahkan sejak tanaman itu masih berumur seminggu. Dan bapakku sudah kehilangan taring sebagai kepala desa sejak pernikahanku dengan saudara serahimmu. Inikah kebahagiaan yang kau inginkan? Kepura-puraanmu hanya menyakitimu. Kau tak pernah benar-benar ikhlas melepasku sayang. Kau akan selalu membayangiku. Berpalinglah dari cermin itu. Aku di sini. Cermin itu bukan kekasihmu.”
Aku merasa nadiku kembali berdenyut hingga berhasil memompakan rona kemerahan di pipiku. Jika aku berbalik, aku hanya bisa sebatas memandangmu. Tiada beda dengan memandang cerminan dirimu. Lantas untuk apa?
“Mungkin selamanya kau tak mampu berbicara. Tapi aku yakin kau masih bisa mendengarku.”
Lima detik, kau masih menunggu reaksiku. Pada detik keenam, kau tarik kursi yang kududuki ke belakang. Kau seperti muncul dari cermin dan menghadapiku penuh kemenangan. Dua musim sudah aku tak berani menatapmu langsung. Sorot matamu ternyata masih sama. Masih menggilaiku tanpa alasan walau kini mungkin kau tak bisa menyentuhku seperti dulu.
“Aku tak percaya jika kau selalu kembali setiap pagi anggarakasih. Kupikir itu hanya halusinasiku saja. Sekarang aku tak peduli orang menganggapku gila. Toh seumur hidupmu mereka tahu kalau aku tergila-gila padamu tanpa alasan. Namun di hari pernikahan kita, kenapa kau menghilang? Karena terlalu bahagia aku tak sadar jika yang bersanding denganku saat itu bukan dirimu. Kalian begitu serupa. Dia bukan istriku. Aku menyebut namamu dalam ijab kabul kita. Bukan namanya. Ke mana kau saat itu?”
Bagaimana caraku menceritakan padamu tentang hari bahagia kita dulu yang kandas karena aku lebih dulu dijemput keserakahan bapakku? Aku tahu rencana serangan fajar yang dilakukan bapak tiga hari sebelum acara walimah urusy. Dia menyelipkan lembaran biru dan lembar bergambar dirinya dalam undangan kita. Kemewahan pernikahan bukan semata-mata buat kita melainkan untuk simpatisannya. Kebahagiaan kita bukan kedok. Bukan alat. Dan aku tak terima kita dijadikan alasan.
Tumpukan undangan yang telah diselipi keculasan, kubongkar diam-diam sebelum bapak menyebarkannya. Memang hanya sebagian. Aku tak mau bapak curiga. Bukti itu kusimpan di laci meja rias. Aku mencoba menceritakannya padamu lewat tulisan berlembar-lembar. Tapi tulisan itu tak pernah sampai padamu. Sebab waktu itu aku dipingit. Sebab kembaranku tak mau menyampaikannya padamu karena takut pada bapak. Dan akhirnya aku harus menghadapi bapak dalam kebisuan.
Pagi yang tak pernah kulupa. Pagi anggarakasih. Bapak membawakanku teh hijau saat dentang keenam belum berbunyi. Kala itu aku mematut diri, menyugar dan mengepang rambutku ke kanan. Yang kuingat tatapan bapak penuh amarah. Dia meletakkan cangkir bening di depanku dengan serampangan. Hingga minuman itu terciprat ke meja dan cermin. Saat kucoba berbahasa isyarat dengan bapak, justru bapak mengagetkanku dengan memukul cermin cukup keras hingga retak di sepertiga bagian atasnya. Yang kuingat, bapak mengatakan bahwa hidupku adalah urusan bapak tapi hidup bapak bukan urusanku. Bapak membatalkan pernikahanku secara sepihak hanya karena aku menghalangi rencananya. Retaklah harapanku padamu, seperti cermin yang retak di sepertiga bagian atasnya karena hantaman bapak.
Kutenangkan diri menghadap cermin. Kusesap teh hijau pemberian bapak. Aku tak tahu apa yang kemudian terjadi selain kata-kata bapak yang terus mendenging: hidupku adalah urusan bapak. Tapi bukankah kau harus tahu ke mana aku pergi?
Kuambil kertas kosong yang terserak di lantai karena angin yang tak bersahabat. Kucoba menulis dengan tinta merah dan tetes air mata agar kau tahu.
Aku diusir paksa dari dunia oleh bapak dengan secangkir teh hijau tanpa gula pada pagi yang tak pernah ikhlas memberiku kebahagiaan. Pagi anggarakasih.
Kau memaksaku berdiri dan memelukku setelah membaca tulisan itu. Seolah aku masih bertulang dengan daging kurus yang membungkus.
“Sudah kuduga aku terkungkung dengan keluarga baru yang busuk. Putrinya sendiri dianggap aib. Pantas saja keluargamu menutupi kepergianmu. Semua bungkam. Dan aku dipaksa bertahan dengan saudaramu hanya demi ancaman nama baik bapakku. Semirip apa pun dia denganmu, tak akan bisa menumbuhkan cinta yang tak beralasan seperti yang telah kau tanam padaku.
“Sampai kapan kau mau tetap bertahan di kamar ini? Kamar yang sudah berkhianat dan membunuh harapanmu perlahan. Maukah kau pindah dari hadapan cermin ini sayang? Cermin ini hanya membatasi persuaan kita. Akan kusediakan tempat di mana kita bisa memadu kasih dengan taburan kembang kantil dan kenanga, juga aroma setanggi yang kau suka. Tanpa batasan hari. Tanpa terikat oleh pagi anggarakasih. Tentu dengan sajian teh hijau tanpa gula namun penuh rasa manis seperti dulu. Kini giliranku yang menyeduhnya untukmu. Kepahitan yang telah lalu akan kulimpahkan pada orang yang pantas menerimanya. Pegang janjiku sayang.”
Dentang jam tujuh berbunyi. Bersamaan dengan itu, baru kusadari sosok wanita di beranda rumahmu menatapku tajam. Dia tergesa berlari kemari. Kau tak peduli dan tetap memelukku penuh rindu.
“Mas, apa yang sampean lakukan di kamar ini?” Wanita itu tampak gemetaran menatapku.
“Melepas rindu pada sosok yang mustahil bisa kau gantikan,” jawabmu mantap tanpa melepas pelukan.
Dentang terakhir pun kudengar, citraku mulai kabur di pagi terakhir yang lagi-lagi mencabut paksa kebahagiaan yang baru kunikmati. Tetapi kali ini, senyum kemenangan kuumbar untuk pagi yang kutinggalkan.
Kau tepati satu janjimu. Dalam kehadiranku berikutnya, aku tak lagi terkurung dalam kamar pengap yang hanya terbuka saat hari kedatanganku. Kau memanggil dan membawaku diam-diam ke ruangan ternyaman yang bahkan istrimu tak boleh membukanya. Kau memberiku malam pertama yang begitu sempurna. Tanpa harus dibagi dengan saudariku. Sudah cukup aku berbagi dengannya sejak dalam kandungan bersama.
Kegelapan memberiku kebahagiaan bersama dirimu dalam balutan asap setanggi serta taburan kenanga dan kantil yang menghapus batas dimensi antara kita. Malammu selamanya milikku. Biarlah pagi yang tak pernah ikhlas menjadi milik saudariku bersama ragamu yang tak berjiwa. Tanpa cinta. Namun, bukankah kau masih berhutang satu janji padaku? Akan kutunggu kau membagikan kepahitan yang kita alami, kekasih.
***
Cerpen ini pernah dimuat di Radar Banyuwangi edisi 6 Oktober 2019
Samar kulihat sosok wanita membawa teko, cangkir dan sepiring gorengan di atas nampan, menunggumu di beranda rumah. Kau beralih pandang dari cermin ke wujud yang lebih nyata. Wanita dengan panjang rambut sama denganku. Wanita dengan kepang rambut sama denganku. Wujud yang nyaris serupa denganku. Dia menuang teko berisi teh hijau tanpa gula ke dalam cangkir bening dan menyerahkannya padamu. Kau dan aku punya rutinitas yang tak memiliki perubahan besar, kecuali bertambahnya rasa pedih ketika aku pun punya jadwal yang sama saat menyesap pahitnya teh hijau tanpa gula.
Kuangkat cangkir beningku, rata dengan dagu. Kau pun melakukan hal sama dan berpaling menatap cermin kembali. Manakala kuteguk minuman yang telah tersaji sejak dentang jam keenam belum berbunyi, aku selalu berharap pahitnya rasa teh ini akan membuatku kebal pada kelatnya kehidupan semu yang kujalani. Nyatanya semua masih sama. Justru semakin hambar dari musim ke musim. Bahkan mungkin periode waktu berikutnya aku bisa saja tak kenal rasa, tak kenal hambar.
Ah, seandainya aku yang berada di sampingmu .... Namun pengandaian sekecil apa pun kepadamu hanyalah kemustahilan yang tak mungkin kurengkuh. Inilah momen ketika mataku mulai kabur karena genangan air yang tak mampu kubendung. Seseorang telah bersanding denganmu. Dia ... wanita yang serupa denganku layaknya aku dalam cermin yang retak di sepertiga bagian atasnya, serupa dengan rasaku padamu yang retak di sepertiga tahun kemarin. Kutatap pantulan belahan ragaku yang bahagia di seberang sana. Kau memilikinya dan bisa membayangkan dia sebagai aku. Tetapi aku tak pernah bisa memilikimu selain bayangmu dari cermin di setiap dentang jam keenam hingga ketujuh di pagi anggarakasih.
Wanita itu masuk kembali. Seperti pagi anggarakasih sebelumnya, kau memberi isyarat padaku agar berbalik dari cermin, mendekat ke jendela. Aku menggeleng. Kuangkat beberapa lembar kertas yang tak pernah berubah posisi di meja rias selama dua musim, lantas menunjuk bayangmu di cermin. Aku sungguh berharap kau paham akan isyaratku.
Tanpa sengaja aku menyiku cangkir teh ketika lenganku terangkat. Nyaris seluruh meja tergenang. Lembaran-lembaran yang belum basah kusingkirkan begitu saja, terserak di lantai. Belum selesai kubersihkan cairan itu, pagi menunjukkan ketidakikhlasannya dengan mengirim angin, menerbangkan lembar-lembar yang selama ini tak terjamah ke arahmu.
Selembar jatuh tepat di ujung kakimu. Dari cermin kulihat kau mengernyit setelah membaca kertas itu. Ratusan tanya dalam tatapmu sudah mulai mendenging di telingaku. Tolong, jangan pernah injak kamarku atau kau akan melihatku kembali tenggelam dalam kesedihan.
Sudah kuduga kau mengabaikannya. Langkahmu penuh ambisi, mendatangiku lewat jendela kayu besar yang dapat dilangkahi dua manusia sekaligus. Tak ada yang bisa kulakukan selain tetap duduk memandangmu di depan cermin.
“Jadi ini yang ingin kau sampaikan? Terlambat! Bapakmu sudah mengambil alih semuanya setelah ia terpilih jadi orang penting. Semua hasil panen di kampung ini sudah dipatok dengan harga mencekik bahkan sejak tanaman itu masih berumur seminggu. Dan bapakku sudah kehilangan taring sebagai kepala desa sejak pernikahanku dengan saudara serahimmu. Inikah kebahagiaan yang kau inginkan? Kepura-puraanmu hanya menyakitimu. Kau tak pernah benar-benar ikhlas melepasku sayang. Kau akan selalu membayangiku. Berpalinglah dari cermin itu. Aku di sini. Cermin itu bukan kekasihmu.”
Aku merasa nadiku kembali berdenyut hingga berhasil memompakan rona kemerahan di pipiku. Jika aku berbalik, aku hanya bisa sebatas memandangmu. Tiada beda dengan memandang cerminan dirimu. Lantas untuk apa?
“Mungkin selamanya kau tak mampu berbicara. Tapi aku yakin kau masih bisa mendengarku.”
Lima detik, kau masih menunggu reaksiku. Pada detik keenam, kau tarik kursi yang kududuki ke belakang. Kau seperti muncul dari cermin dan menghadapiku penuh kemenangan. Dua musim sudah aku tak berani menatapmu langsung. Sorot matamu ternyata masih sama. Masih menggilaiku tanpa alasan walau kini mungkin kau tak bisa menyentuhku seperti dulu.
“Aku tak percaya jika kau selalu kembali setiap pagi anggarakasih. Kupikir itu hanya halusinasiku saja. Sekarang aku tak peduli orang menganggapku gila. Toh seumur hidupmu mereka tahu kalau aku tergila-gila padamu tanpa alasan. Namun di hari pernikahan kita, kenapa kau menghilang? Karena terlalu bahagia aku tak sadar jika yang bersanding denganku saat itu bukan dirimu. Kalian begitu serupa. Dia bukan istriku. Aku menyebut namamu dalam ijab kabul kita. Bukan namanya. Ke mana kau saat itu?”
Bagaimana caraku menceritakan padamu tentang hari bahagia kita dulu yang kandas karena aku lebih dulu dijemput keserakahan bapakku? Aku tahu rencana serangan fajar yang dilakukan bapak tiga hari sebelum acara walimah urusy. Dia menyelipkan lembaran biru dan lembar bergambar dirinya dalam undangan kita. Kemewahan pernikahan bukan semata-mata buat kita melainkan untuk simpatisannya. Kebahagiaan kita bukan kedok. Bukan alat. Dan aku tak terima kita dijadikan alasan.
Tumpukan undangan yang telah diselipi keculasan, kubongkar diam-diam sebelum bapak menyebarkannya. Memang hanya sebagian. Aku tak mau bapak curiga. Bukti itu kusimpan di laci meja rias. Aku mencoba menceritakannya padamu lewat tulisan berlembar-lembar. Tapi tulisan itu tak pernah sampai padamu. Sebab waktu itu aku dipingit. Sebab kembaranku tak mau menyampaikannya padamu karena takut pada bapak. Dan akhirnya aku harus menghadapi bapak dalam kebisuan.
Pagi yang tak pernah kulupa. Pagi anggarakasih. Bapak membawakanku teh hijau saat dentang keenam belum berbunyi. Kala itu aku mematut diri, menyugar dan mengepang rambutku ke kanan. Yang kuingat tatapan bapak penuh amarah. Dia meletakkan cangkir bening di depanku dengan serampangan. Hingga minuman itu terciprat ke meja dan cermin. Saat kucoba berbahasa isyarat dengan bapak, justru bapak mengagetkanku dengan memukul cermin cukup keras hingga retak di sepertiga bagian atasnya. Yang kuingat, bapak mengatakan bahwa hidupku adalah urusan bapak tapi hidup bapak bukan urusanku. Bapak membatalkan pernikahanku secara sepihak hanya karena aku menghalangi rencananya. Retaklah harapanku padamu, seperti cermin yang retak di sepertiga bagian atasnya karena hantaman bapak.
Kutenangkan diri menghadap cermin. Kusesap teh hijau pemberian bapak. Aku tak tahu apa yang kemudian terjadi selain kata-kata bapak yang terus mendenging: hidupku adalah urusan bapak. Tapi bukankah kau harus tahu ke mana aku pergi?
Kuambil kertas kosong yang terserak di lantai karena angin yang tak bersahabat. Kucoba menulis dengan tinta merah dan tetes air mata agar kau tahu.
Aku diusir paksa dari dunia oleh bapak dengan secangkir teh hijau tanpa gula pada pagi yang tak pernah ikhlas memberiku kebahagiaan. Pagi anggarakasih.
Kau memaksaku berdiri dan memelukku setelah membaca tulisan itu. Seolah aku masih bertulang dengan daging kurus yang membungkus.
“Sudah kuduga aku terkungkung dengan keluarga baru yang busuk. Putrinya sendiri dianggap aib. Pantas saja keluargamu menutupi kepergianmu. Semua bungkam. Dan aku dipaksa bertahan dengan saudaramu hanya demi ancaman nama baik bapakku. Semirip apa pun dia denganmu, tak akan bisa menumbuhkan cinta yang tak beralasan seperti yang telah kau tanam padaku.
“Sampai kapan kau mau tetap bertahan di kamar ini? Kamar yang sudah berkhianat dan membunuh harapanmu perlahan. Maukah kau pindah dari hadapan cermin ini sayang? Cermin ini hanya membatasi persuaan kita. Akan kusediakan tempat di mana kita bisa memadu kasih dengan taburan kembang kantil dan kenanga, juga aroma setanggi yang kau suka. Tanpa batasan hari. Tanpa terikat oleh pagi anggarakasih. Tentu dengan sajian teh hijau tanpa gula namun penuh rasa manis seperti dulu. Kini giliranku yang menyeduhnya untukmu. Kepahitan yang telah lalu akan kulimpahkan pada orang yang pantas menerimanya. Pegang janjiku sayang.”
Dentang jam tujuh berbunyi. Bersamaan dengan itu, baru kusadari sosok wanita di beranda rumahmu menatapku tajam. Dia tergesa berlari kemari. Kau tak peduli dan tetap memelukku penuh rindu.
“Mas, apa yang sampean lakukan di kamar ini?” Wanita itu tampak gemetaran menatapku.
“Melepas rindu pada sosok yang mustahil bisa kau gantikan,” jawabmu mantap tanpa melepas pelukan.
Dentang terakhir pun kudengar, citraku mulai kabur di pagi terakhir yang lagi-lagi mencabut paksa kebahagiaan yang baru kunikmati. Tetapi kali ini, senyum kemenangan kuumbar untuk pagi yang kutinggalkan.
Kau tepati satu janjimu. Dalam kehadiranku berikutnya, aku tak lagi terkurung dalam kamar pengap yang hanya terbuka saat hari kedatanganku. Kau memanggil dan membawaku diam-diam ke ruangan ternyaman yang bahkan istrimu tak boleh membukanya. Kau memberiku malam pertama yang begitu sempurna. Tanpa harus dibagi dengan saudariku. Sudah cukup aku berbagi dengannya sejak dalam kandungan bersama.
Kegelapan memberiku kebahagiaan bersama dirimu dalam balutan asap setanggi serta taburan kenanga dan kantil yang menghapus batas dimensi antara kita. Malammu selamanya milikku. Biarlah pagi yang tak pernah ikhlas menjadi milik saudariku bersama ragamu yang tak berjiwa. Tanpa cinta. Namun, bukankah kau masih berhutang satu janji padaku? Akan kutunggu kau membagikan kepahitan yang kita alami, kekasih.
***
Cerpen ini pernah dimuat di Radar Banyuwangi edisi 6 Oktober 2019