Teknologi mengubah kehidupan. GImana? Setuju nggak? Ada yang tidak setuju? Sini saya lempar ke Timbuktu.
Saya lihat kenyataannya pada rumah emak di desa. Saat liburan sekolah, saya sering 'dibuang' ke sana. Mungkin, pikir ibu saya, ini bisa mengurangi kerepotannya mengurus kebadungan saya. Ya, karena libur saya jadi kurang kegiatan dan semakin usil.
Di rumah emak, saya sering disuruh nemenin sepupu ke hutan untuk mencari ranting dan dahan kering untuk kayu bakar. Pekerjaan ini sungguh mengasyikkan. Rasanya, seperti ikut bocah petualang. Kami bisa seharian penuh di hutan. Mencari kayu bakarnya sih cuman sebentar, yang lama adalah mencari sarang burung dan mandi di kali.
Sesampai rumah hari sudah gelap. Kami berdua yang masih basah kuyup dan kedinginan menghangatkan diri di perapian sambil mendengarkan omelan nemak. "Seharusnya, kalian tidak menyentuh air setelah jam dua siang, jadinya seperti ini kan? Kedinginan! Lalu, bagaimana nanti kalau hujan dan ada banjir bandang?" kata emak kala itu. Asal kalian tahu, rumah emak ada di kaki gunung. Kebayang kan dinginnya? Tapi rasanya, emak paham. Anak-anak memang tidak pernah peduli dengan jam dan keadaan jika sudah bermain.
Di depan tungku, kami menemani emak yang sedang mempersiapkan makan malam. Kayu yang kami dapat hari itu digunakan sebagai bahan bakar memasak. Setelah mengomel, biasanya emak bercerita tentang leluhur kami, tentang apa yang dilakukan di masa jaya mereka. Dan dari emaklah, sumber ide menulis saya kebanyakan berasal.
Menjelang remaja, saya masih suka ke hutan jika berkunjung ke rumah emak. Bukan untuk mencari kayu bakar, karena tungku api dapur sudah berubah menjadi kompor dengan tabung gas. Terus terang saya agak kecewa. Dapur tidak menjadi hangat, tidak ada cerita dari mulut nenek sembari menyorongkan kayu ke dalam tungku. Semuanya menjadi cepat dan praktis, tidak ada lagi cerita-cerita hangat dari dapur. Teknologi, mengubah semuanya.
Teknologi dan kepenulisan.
Teknologi juga berimbas pada dunia kepenulisan. Pada zaman pra sejarah, manusia menggunakan media batu dan dinding sebagai sarana menulis, kemudian ada daun lontar yang berisi naskah-naskah, kain, lalu kertas masuk ke Indonesia.
Di zaman milenial ini, dunia kepenulisan juga tersentuh dunia digital. Kakak saya suka menulis di dalam buku harian, karena pada zamannya, internet masih belum popular. Sedangkan saya, yang tumbuh saat dunia maya sedang marak-maraknya, lebih memilih menulis di sana. Saya sendiri ingat, tulisan pertama saya dalam portal digital adalah di multiply.com. Isinya tentu saja hal-hal enggak penting (untungnya multiply.com sekarang sudah musnah. Jadi, cerita dan kisah cinta saya dengan seorang penulis di sana juga musnah… halah).
Ada perbedaan mencolok dari kebiasaan saya dan kakak saya. Jika diary kakak saya hanya sifatnya tersembunyi dan hanya dia saja yang bisa baca, maka diary saya sifatnya terbuka dan aib-aib saya pun bisa dibaca oleh semua orang.
Ketertarikan saya menulis makin berkembang, dari penulis blog saya coba menulis fiksi walaupun hasilnya memalukan—bila saya baca kembali. Rupa-rupanya, tidak hanya saya seorang yang melakukan hal tersebut. Ada ratusan penulis amatir melakukan hal yang sama; menulis fiksi di dalam blog digital mereka. Lambat laun, kecenderungan ini tercium juga oleh para starter up. Penulis amatir mulai dilirik. Website-website kepenulisan mulai bermunculan, menjadi wahana bagi para penulis fiksi untuk 'memamerkan' karyanya. Sebut saja wattpad, kemudian.com, novel nusantara, figment, penana, fiction press, storial, cabaca, dan lain sebagainya.
Lebih cepat popular
Ternyata, menulis di dunia maya lebih menguntungkan. Setidaknya, bagi penulis amatir yang baru menetas. Tidak seperti dahulu, mereka setengah mampus berlomba menembus redaksi koran agar tulisan mereka bisa dimuat. Pada zaman itu, naskah yang dimuat ibarat pesawat ulang alik bagi popularitas penulis. Namun, menaiki kepopularan via media cetak seperti jalan viadolorosa, berdarah-darah dan terjal. Wajar, karena media cetak mengutamakan mutu. Namun, dengan hadirnya platform digital, popularitas itu lebih mudah dicapai. Ibaratnya, seperti naik eskalator sambil memakai rok mini. Seorang penulis bisa mempunyai ribuan pembaca, tulisannya dibaca jutaan kali hanya dengan menulis tema yang sedang ngetrend dan digandrungi pembaca. Apalagi ditambahi bumbu rajin haha-hihi sama pengikutnya. Jadilah dia seleb wattpad.
Saya pernah berdiskusi dengan grup kepenulisan, sepenting apa kepopularan seorang penulis? Rata-rata mereka menjawab, jika seorang penulis sudah popular, maka pundi-pundi itu akan datang sendiri. Kepopularan memang berbanding lurus dengan pundi-pundi. Jika kita ke toko buku, di bagian rak buku popular pasti ada buku jebolan wattpad yang dikalim sudah dibaca jutaan kali. See? Bahkan penerbit pun memburu penulis-penulis popular di media kepenulisan daring.
Plagiator kotor.
Tapi, semakin popularnya tulisan dan penulis, maka semakin pula besar kemungkinan kecolongan diplagiat. Meskipun pihak penyedia platform sudah mengantisipasi dengan enskripsi dan pengamanan ketat, hal ini tidak menjamin sebuah tulisan aman dari plagiasi. Sekali lagi, selain menyediakan cara mengamankan tulisan dari plagiasi, dunia digital juga menyediakan tutorial bagaimana cara menjiplaknya dan menembus keamanan dengan gampang.
Kepopularan sebuah tulisan mengundang hasrat penulis lain. Ada yang mencuri ide dan mengembangkan sendiri sesuai tulisannya, ada pula yang secara terang-terangan menyalin tulisan tersebut dan mengakuinya sebagai karya sendiri. Ada banyak kasus plagiasi yang berujung perang. Ada yang menuduh, dan yang tertuduh tidak terima. Dua-duanya bersikeras mempertahankan opini jika tulisan mereka original. Jika sudah begitu, perang akan berlarut-larut dan merembet ke media sosial. @twitwar pun senang karena dapat bahan postiingan.
Memang, dalam dunia digital sebuah karya yang sudah masuk ke dunia maya adalah "milik umum", bukan lagi milik pribadi. Semisal pohon mangga yang ada di dalam pagar, buahnya menjuntai hingga ke jalan raya. Enggak salah yang ngambil dong? Batasan plagiasi pun kadang tidak dimengerti oleh penulis. Jadi kasus plagiasi dalam dunia digital ini seperti lingkaran setan yang tidak tahu mana titik pangkal dan ujungnya.
Memilih platform menulis.
Ada banyak platform seperti yang saya contohkan di atas dan biasanya, setiap tahun ada yang baru. Yang paling terkenal adalah wattpad. Saya tidak tahu pasti berapa akun yang terdaftar di sana. Pasti jutaan. Tidak salah mencoba menaruh karya di sana. Dengan jutaan akun yang terdapat di sana, kemungkinan dibacanya karya kita semakin tinggi. Tapi, untuk menjadi popular di sebuah platform kepenulisan yang sudah lama berdiri sangatlah susah. Bayangkan bagaimana kita bersaing dengan seorang penulis yang sudah mempunyai follower puluhan ribu dan puluhan karya? Jangan mimpi untuk cepat popular, kecuali sebelum masuk dunia fiksi, kalian sudah jadi selebriti. (Ada selebritas Indonesia yang punya akun di platform fiksi daring lho, jangan salah!)
Sebaiknya penulis baru mencari platform baru juga. Memang tidak akan banyak pembaca, tetapi percayalah, patform kepenulisan daring sangat menjanjikan. Kita tidak tahu jika kelak, patform tersebut jadi yang terbesar. Jaga kesetiaan menulis pada platform tersebut, rajin-rajinlah menyapa siapa pun yang meninggalkan jejak pada tulisan kalian. Yah, itung-itung latihan bersikap ramah, jika suatu saat kelak kalian akan jadi seleb di platform kepenulisan tersebut.
Tapi kadang, tidak selamanya platform kepenulisan bernasib baik dan berkembang. Sesuatu yag buruk bisa terjadi juga. Ada beberapa yang sudah gulung tikar, penyebabnya pun macam-macam. Sebaiknya, kita juga menyelidiki portofolio sebuah platform. Apakah milik pribadi, kongsi, mengira-ngira bagaimana managemennya? Dan akan lebih baik jika kita kenal "orang dalam" karena kita akan tahu perkembangan platform yang kita ikuti dan mengantisipasi apa yang terjadi kelak, sebagai bentuk proteksi terhadapp karya kita.
Dan akhirnya saya bingung, sebenarnya saya mau nulis apa sih? Ya sudah lah, next time saya meracau lagi dengan lebih baik.
Berasa dapat wejangan untuk berpijak kembali ke tanah. Jaman ketika penulis berlomba-lomba agar karyanya dimuat di koran dan majalah, rasanya saya masih lebih menyukai masa-masa itu.
BalasHapus