Orang-Orang Proyek
Ahmad Tohari
Novel garapan Ahmad Tohari ini bisa dikategorikan sebagai novel hasil reformasi. Yang saya tahu, novel ini ditulis bulan Mei 2001, cetakan pertama dibuat di tahun 2002, empat tahun setelah runtuhnya feodalisme ORBA. Dibuka dengan obrolan antara Kabul, si tokoh utama, dengan Pak Tarya yang gemar memancing, Ahmad Tohari mengetengahkan cerita penuh intrik dan kebusukan pemerintah kala itu melalui objek sebuah pembangunan jembatan yang katanya hanya proyek akal-akalan menjelang pemilu.
Kabul, yang memimpin proyek pembangunan jembatan tersebut, adalah seorang insinyur yang idealis. Dalam pelaksanaannya, pembangunan dikotori oleh praktik-praktik tidak sehat yang bertentangan dengan nilai yang dianutnya. Dimulai dengan tender proyek yang dimenangkan oleh anak pejabat kader partai penguasa, lalu dijual pada kontraktor tempatnya bekerja. Proyek itu terus dirongrong oleh pemegang kekuasaan. Dati tuntutan untuk menyelesaikan jembatan sebelum perayaan ulang tahun partai hingga masjid desa yang minta dibangun ulang atas nama partai. Di sini, konflik idealismenya dibenturkan; antara tanggung jawabnya kepada rakyat yang membiayai jembatan dan profesionalismenya melawan kepentingan politik penguasa. Ahmad Tohari membuat tokoh utamanya tercabik-cabik secara moral. Apalagi, sahabat semasa kuliah yang getol menyuarakan idealisme mahasiswa, malah ikut-ikutan bobrok setelah menjadi kepala desa. Budget pembangunan bocor di sana-sini, membuatnya merasa bersalah karena harus mengorbankan mutu bangunan dan ilmunya sebagai insinyur.
Hal yang membuat hati saya terenyuh dan sempat menghela napas adalah, saat Samad menangis mendengar Kabul bercerita tentang bagaimana biyungnya mendidik untuk tetap bersih, memakan makanan sederhana tetapi berasal dari surga, bukan makanan mewah hasil korpusi. Pesan moralnya sangat kuat, dengan penggambaran yang menyentuh hati. Konflik dalam novel pun dibangun berlapis dan sambung menyambung, membuat pembaca paham pemikiran masing-masing karakter dan konflik yang mereka alami. Seperti butterfly efect, didikan biyung yang lurus menentukan keputusan Kabul untuk mengakhiri karirnya dalam proyek jembatan itu, layaknyai Pak Tarya yang memang tidak punya ambisi, bisa berdendang dan meniup seruling di pinggir Sungai CIbawor pada saat tuanya. Cerita pun dipermanis dengan bumbu kisah cinta Kabul dan Wati, si sekretaris proyek.
Novel ini adalah novel yang lahir untuk menguliti kebusukan orde baru selama berjaya. Mulai tingkat legislatif, Golongan Karya—partai tunggal penguasa zaman yang disamarkan namanya menjadi Golongan Lestari Menang, hingga cecunguk-cecunguk yang berada di rantai paling bawah; pengurus masjid, mandor, dan perangkat desa. Novel ini melukiskan betapa praktik korupsi, nepotisme, aji mumpung, penyalahgunaan kekuasaan, dan persekusi sudah sama wajibnya dengan salat lima waktu atau ibadah di hari Minggu.
Saya jadi ingat cerita teman saya yang mengutuki pemerintah Joko WIdodo, yang getol membangun. Semisal, tol utara pulau Jawa. Jalur pantura adalah lahan bancakan bagi koruptor. Saya jadi menghubung-hubungkan, kenapa jalur itu macet. Salah satunya adalah karena mutu jalan yang dibuat rendah. Dana yang seharusnya bisa untuk membangun jalan berumur sepuluh tahun dibuat bancaan, akibatnya umur jalan berkurang setengahnya. Kualitas aspal dibawah standar, pasir, dan batu pun juga demikian. Tujuannya hanya satu; agar tidak awet dan proyek pembangunan jalan terus menerus ada dan siklus korupsi lestari.
Novel ini patut diapresiasi. Namun, sayangnya novel ini tidak dibuat saat orde baru berkuasa.