Pergi ke pasar sambil menari
Jangan
lupa membeli selada
Ayo kawan galakkan literasi
Korupsi
tiada, Indonesia jaya
Sebait pantun itu mungkin bukan sesuatu yang wah untuk mengambarkan betapa Indonesia butuh
melek aksara alias literasi, untuk menangkal korupsi dan menjadi negara yang
jaya.
Semua orang tentu akan merasa greregetan,
bahkan kesal jika melihat ada orang yang melakukan korupsi. Korupsi bukan hanya
menjalar di lingkup pejabat saja, bahkan lingkup masyarakat pada umumnya. Lalu apa hubungannya dengan literasi
?... Sanggupkah literasi melawan korupsi?
Lalu apa itu definisi korupsi dan apa itu definisi
literasi?
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari
kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan
pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak
lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang
dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Jenis tindak pidana korupsi di
antaranya, namun bukan semuanya, adalah
· memberi
atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan
dalam jabatan, pemerasan
dalam jabatan, ikut
serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara
negara).
Literasi
media adalah
kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media. Kemampuan untuk melakukan hal ini
ditujukan agar pemirsa sebagai konsumen media (termasuk anak-anak) menjadi
sadar (melek) tentang cara media dikonstruksi (dibuat) dan diakses.
Literasi media muncul dan mulai sering
dibicarakan karena media seringkali dianggap sumber kebenaran, dan pada sisi
lain, tidak banyak yang tahu bahwa media memiliki kekuasaan secara intelektual
di tengah publik dan menjadi medium untuk pihak yang berkepentingan untuk
memonopoli makna yang akan dilempar ke publik. Karena pekerja media bebas untuk
merekonstruksikan fakta keras dalam konteks untuk kepentingan publik (pro
bono publico) dan merupakan bagian dalam kebebasan pers (freedom
of the press) tanggung jawab atas suatu hasil rekonstruksi fakta adalah
berada pada tangan jurnalis,
yang seharusnya netral dan tidak dipengaruhi oleh emosi dan pendapatnya
akan narasumber, dan bukan pada
narasumber.
Lalu hubungan antara literasi dan
korupsi itu apa?
Sebelum pembahasan mengarah ke sana,
mari melirik sejenak kepada negara-negara yang sudah melek aksara alias
literasi.
Jepang adalah negara yang maju dalam
hal tehknologi. Jepang juga negara dengan tingkat disiplin tinggi. Namun meski
tindakan hukum di sana jelas dan pasti,
tetap saja tidak dapat menghindari pelanggaran korupsi.
Walau tanpa lembaga pemberantasan korupsi,
tidak berarti para koruptor bisa
berlengang kangkung di sana. Hal ini dikarenakan sangsi sosial di masyarakatlah yang membuat para koruptor harus berpikir dua kali lipat untuk melakukan korupsi.
Sebenarnya Jepang hanya memberi hukuman 7 tahun untuk tindak korupsi, tetapi memberikan sanksi sosial yang sangat berat kepada
pelaku korupsi. Sanksi itu tidak hanya diberikan oleh lembaga hukum, tapi juga
dari masyarakat. Para koruptor yang baru
keluar dari penjara akan dianggap orang asing dan tak tahu malu oleh masyarakat
Jepang sehingga itu memberikan beban bagi hidupnya, hal ini juga dilakukan oleh
kerabat bahkan oleh keluarganya sendiri. Biasanya para koruptor dieri dua
pilihan, mati perlahan-lahan karena malu atau melakukan hara-kiri (bunuh diri khas Jepang
dengan merobek perut menggunakan pisau Samurai).
Demikian dahsyat, budaya malu
yang diterapkan oleh negara matahari terbit tersebut. Negara yang sudah melek
aksara ini mampu menerjemahkan proses literernya dalam kehidupan sehari-hari, meski
tanpa lembaga KPK tapi negara matahari terbit ini, menyentuh masyarakatnya
dengan literasi. Sedang di Indonesia, karena keterbatasan SDM Komisi
Pemberantasan Korupsi tidak mungkin membebankan
masalah korupsi hanya pada lembaga KPK. KPK harus bersinergi dengan
banyak pihak dalam melakukan pencegahan korupsi, kampanye, dan penyadaran lebih
masif kepada masyarakat tentang bahaya korupsi.
Salah satunya dengan merangkul
masyarakat literer, antara lain melalui gerakan Literasi Antikorupsi. Melalui
gerakan tersebut, KPK berupaya melakukan pendidikan antikorupsi kepada
masyarakat dengan memanfaatkan produk-produk literasi antikorupsi.
Tapi jauh sebelum ada gerakan
literasi nasional melawan korupsi oleh KPK, Pramoedya Ananta Toer telah
menulis novel berjudul Korupsi. Dalam kisah tersebut, Bakir, seorang pegawai
kecil yang awalnya jujur, tidak kuasa menahan segala kemiskinan yang mengimpit.
Akhirnya, ia pun, seperti juga pegawai lainnya, ikut korupsi kecil-kecilan
dengan menjual barang-barang kantor. Merasa aman, Bakir menaikkan eskalasi
korupsinya, hingga akhirnya ia terjebak pada kerakusan lalu berakhir di jeruji
besi.
Empat puluh tahun kemudian,
Tahar Ben Jelloun, penulis berkebangsaan Prancis keturunan Maroko, terilhami
dari novel Pram tersebut. Ia menulis novel dengan tematik yang hampir sama.
Novel berjudul L’Homme rompu tersebut, kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa
Inggris dengan judul Corruption dan mendapatkan penghargaan hadiah sastra Prix
Gouncourt. Kendati berjarak hingga 40 tahun, novel Pram rupanya sanggup
melewati palung batas negara dan kebudayaan. Tulisannya bisa menggetarkan
pembaca seperti Jelloun dan secara intertekstual, jelaslah Jelloun tergerak
menulis problematika yang sama atas hasil keterbacaannya. Hal ini menjadi
wajar, selain karena Pramoedya Ananta Toer memang penulis ulung, tema mengenai
korupsi sebetulnya menjadi gejala umum di dunia.
Berkaca pada proses literer tersebut,
kita bisa menarik garis lurus bahwa sebuah karya yang memercikkan kebaikan akan
membasahi hati siapa pun. Karya sastra sebagai produk kebudayaan literasi
sanggup menjadi cermin kehidupan, sehingga dengan karakteristik karya sastra,
sebetulnya sangat dimungkinkan untuk menjadi bagian dari propaganda dalam
proses pencegahan korupsi. Hal itu terlihat dari mulai maraknya penulis-penulis
yang menghasilkan karya bertema antikorupsi.
Dari sinilah, bangsa Indonesia
harus mulai mengerakkan masyarakatnya untuk melek aksara, dari tingkat
pendidikan di keluarga, tingkat
pendidikan dasar sampai tingkat
pendidikan tinggi, dituntut untuk mampu
menerapkan literasi antikorupsi melalui
karya sastra. Peran komunitas literasi di antaranya, taman bacaan masyarakat, perpustakaan
bergerak, sudut baca, rumah buku, dan serta media sosial punya andil yang besar
dan tak
bisa diabaikan. Sebab, bisa menjadi jembatan antara penulis dan pembaca.
Salam literasi,
Ken