ANAK-ANAK
PANTAI
Shin Elqi
SETIAP
hari aku bersama tiga temanku mencari kerang di tepi pantai. Kami bisa
mengumpulkan satu ember penuh jika beruntung, jika tidak hanya setengah saja,
dan menjualnya di restoran Paman Son. Setelah itu, kami pulang untuk sarapan.
Jaret yang
berbadan gemuk, akan mengeluh dalam perjalanan pulang. Ia selalu berkata ibunya
tidak kreatif, dan hanya memasak ikan asin, atau udang kering yang ditumbuk
halus. Usianya baru 12 tahun satu bulan yang lalu, dan mengaku telah jatuh
cinta pada salah satu pelayan di restoran Paman Son, Beryl.
Aku pernah
bertemu Beryl dan berbincang dengannya. Ia gadis berumur 16 tahun dengan dada
yang hampir meledak, padahal tubuhnya bisa dibilang kurus. Seksi, menurut
pengakuannya. Ia sangat suka berbicara tentang bintang-bintang. Ia akan tiduran
di atas atap rumahnya pada malam hari, dan tidak memakai baju.
"Bintang-bintang
suka pada tubuh telanjang," katanya suatu hari. "Karena tubuh
telanjang lebih mirip binatang yang sadar diri, daripada binatang yang memakai
bikini, atau baju tipis, atau sedikit, atau ketat, yang akan terlihat konyol
jika marah pada pejantan yang sedang berahi, disebabkan gaya pakaian mereka
itu."
Aku tidak
paham kata-kata itu, dan temanku, Ismi menyarankan agar aku tidak mendekati
Beryl lagi. Begitu pula Sonia, temanku yang lain. Mereka selalu menasihatiku
setiap ada kata-kata yang tidak aku mengerti, dan diucapkan oleh orang dewasa.
Alasan mereka selalu sama: aku masih terlalu kecil. Padahal umur mereka juga
masih 12 tahun, beda tiga tahun denganku.
Setelah
sarapan, aku, Ismi dan Sonia akan pergi ke pantai. Duduk di bawah payung besar
yang sudah tertancap di sana, menunggu orang-orang dengan bahasa aneh untuk
berjemur. Mereka akan memanggil kami dengan lambaian tangan, dan menyerahkan
botol-botol berisi air agak kental yang licin. Tanpa bicara atau isyarat
apapun, kami akan melumuri tubuh mereka dengan cairan itu. Seluruh tubuh
mereka.
Kami
biasanya berempat dengan Jaret, tapi orang-orang berbahasa aneh itu tidak suka
pada anak yang telah berumur lebih dari 10 tahun untuk menyentuh kulitnya.
Entah karena alasan apa. Dan bagian yang paling kusuka saat melakukan pekerjaan
itu adalah, melumuri dada mereka yang membulat. Rasanya kenyal dan enak kalau
dipegang. Aku akan berlama-lama di sana, sebelum melumuri bagian lain. Selain
itu, bagian pantat dan pahanya juga empuk. Jika aku ketahuan berlama-lama pada
bagian itu, orang-orang yang meminta jasaku hanya tersenyum dan berkata dengan
bahasa aneh sambil memukul tanganku pelan.
Kami akan
berada di sana, dan melumuri orang-orang dengan badan besar itu sampai pukul
sembilan atau sepuluh. Aku selalu mendapatkan perempuan, sementara Ismi dan
Sonia kebanyakan laki-laki, meski mereka terkadang mendapatkan perempuan.
Setelah
pekerjaan itu, kami akan pergi ke pasar dan membeli permen, atau makanan kecil
yang dibungkus plastik, dan menemui Jaret yang bekerja sebagai penjaga lapak
ikan. Ia akan selalu bertanya padaku, apakah ada dada yang besar di pantai,
atau apakah aku sempat melihat bulu kemaluan. Saat seperti itu, Ismi dan Sonia
akan menyeretku untuk pulang, atau bermain di atas batu karang.
Ismi suka
bercerita, ia akan menceritakan apa saja. Aku rasa itu alasan kenapa tubuhnya
kecil, sementara Sonia sedikit besar dan aku heran kenapa perutnya tidak melengkung
seperti punya Jaret. Dadanya pun sudah membentuk bulatan, meski tidak sebesar
orang-orang yang berjemur di pantai.
Saat kami
menuju ke pantai dengan batu karang yang bermunculan dari balik pasir, kami
melihat tubuh perempuan tergeletak di tepi pantai. Bergerak-gerak karena
hempasan ombak. Kami mendekat dengan hati-hati, dan terkejut secara bersamaan
saat melihat tubuh itu.
Ia seorang
perempuan yang cantik dengan rambut hitam bergelombang. Matanya terpejam, dan
bibirnya semerah cabe rawit. Ia tidak memakai apa-apa, tapi bukan itu yang
mengejutkan kami. Tubuh bagian bawahnya—dimulai dari bawah pusar—bersisik
seperti ikan. Bahkan ada sirip dan ekor yang sangat serupa ikan.
"Itu
putri duyung!" pekik Ismi, lalu terjatuh ke pasir. Pingsan.
Sementara
Sonia menyuruhku untuk menyeret perempuan yang kata Ismi putri duyung itu ke
ceruk yang terdapat di batu karang. Setelah itu, kami juga membawa Ismi ke
sana.
"Jika
orang tahu ada putri duyung terdampar, hidup kita pasti berakhir," kata
Sonia dengan ketakutan yang tidak aku mengerti.
Lalu Sonia
menjelaskan lebih jauh. Orang-orang akan berdatangan, baik untuk melihat
ataupun mencari berita. Lebih buruk lagi, orang-orang rakus yang ingin memiliki
putri duyung itu, dan mereka tidak segan-segan membunuh siapa saja untuk
mendapatkan apa yang mereka inginkan, bahkan menyingkirkan kami yang mengetahui
keberadaan putri duyung tersebut.
Ismi sadar
setengah jam kemudian, tepat ketika tubuh bagian bawah putri duyung itu berubah
menjadi kaki, dan Ismi segera menutup bagian yang berada di bawah pusar dengan
sapu tangan yang ia bawa.
"Kamu
melihatnya?" katanya padaku.
Aku
menggelengkan kepala, meski sempat melihat lengkungan yang ditumbuhi rambut.
Lalu Ismi bertanya sebelum Sonia melihat kebohonganku.
"Apa
ia putri duyung tadi?"
"Iya,
ia orang yang sama."
Kami
menunggu di dalam ceruk batu. Menunggu putri duyung itu sadar, yang sangat
membuatku lelah. Aku akan jatuh tertidur jika tidak begerak, dan Sonia
menyuruhku dan Ismi untuk membeli makanan dan minuman di toko dekat pantai,
karena sudah waktunya makan siang. Sementara ia akan menjaga putri duyung
tersebut.
Di tengah
perjalanan untuk membeli makanan, Ismi berkata bahwa air mata putri duyung yang
sudah mengering akan berubah menjadi mutiara: benda bulat yang indah dengan
harga mahal. Aku berkata bahwa aku tidak percaya hal itu, dan kami sepakat
untuk membuktikannya setelah kembali.
Dan apa
yang dikatakan Ismi memang benar. Putri duyung itu telah sadar. Ia duduk sambil
menyeka matanya yang basah, dan di bawah kakinya banyak mutiara berserakan.
Ismi menyenggolku sebelum pergi ke arah Sonia dan bertanya apa yang terjadi.
Sonia
bercerita bahwa mereka putri duyung itu bernama Elmia, putri dari raja duyung
Edria, dari kerajaan Filia yang berada dekat dengan pantai kami. Elmia kabur dari
istana bawah lautnya setelah dipaksa menikah dengan putra duyung yang tidak ia
suka. Tapi dalam perjalanan itu, ia bertemu tiga ikan hiu yang berusaha
menyantapnya. Ia bertarung dengan mereka, lalu tak sadarkan diri dan bangun di
ceruk batu tebing dengan Sonia.
Setelah
makan siang bersama putri duyung itu, ia mengajak kami ke tepi pantai dan
menyelam. Katanya, bangsa duyung dilarang keras membawa manusia ke bawah laut.
Mereka akan segera membunuhnya jika ketahuan, tapi tidak dengan anak-anak yang
berumur di bawah 13 tahun. Dengan membawa kami ke kerajaannya, mungkin ayahnya
akan menghukumnya dan mengembalikan kami ke pantai. Dengan hal itu, ia bisa
membatalkan pernikahan yang dipaksakan itu. Siapa sih yang mau menikah dengan
gadis yang melanggar aturan?
Tapi, kami
tidak serta merta bisa ikut menyelam dengannya, karena kami manusia yang tidak
bisa bernapas di dalam air. Untuk masalah itu, kami disuruh telanjang dan ia
akan memeluk kami selama tiga menitan, lalu terjun ke laut.
Ketika
itu, Sonia menampakkan wajah tidak suka. Ia menyuruhku untuk diam saja saat
dipeluk oleh Elmia si putri duyung, dan ia melarangku untuk melihat tubuh
telanjangnya. Sementara Ismi tidak peduli sama sekali. Ia tampak begitu senang
karena bisa melihat dunia putri duyung secara langsung. Ia bahkan tidak peduli
pada mataku yang melihat tubuhnya.
Setelah
masing-masing dari kami menerima pelukan, Elmia berjalan ke air. Setelah ia
tenggelam sampai lutut, kakinya perlahan berubah menjadi ikan dan langsung
berenang ke tengah. Kami mengikutinya. Setelah agak ke tengah, ia
menenggelamkan diri. Kami pun melakukannya.
Anehnya,
aku bisa bernapas meski di dalam air. Hidungku bisa menghirup udara sebagai
mana biasanya, dan mengebuskannya sebagai gelembung. Aku melihat ke arah Ismi
yang tersenyum padaku, lalu Sonia yang menyuruhku untuk berbalik dan berusaha
menutupi dada dan bagian tubuh di bawah pusarnya dengan tangan. Sementara di
depan, Elmia menyuruh kami untuk mengikutinya.
Kami terus
turun ke bawah, melewati beberapa ikan yang berbaris rapi, mulai dari seukuran
jari tangan sampai sebesar tubuh orang dewasa. Dan semakin dalam, cahaya
semakin redup. Tapi ekor Elmia bersinar cerah, menuntun kami di depan.
Sekitar
lima belas menit kemudian, sebuah kota dengan bangunan berbentuk bulat terlihat
di kejauhan. Kota itu berada di dalam sebuah bola besar dengan dua ikan yang
berjaga di pintunya. Ketika tiba di sana Elmia memerintahkan dua ikan yang
mempunyai dua kaki dan tangan itu untuk membuka gerbang, tapi mereka tidak
segera menjalankannya. Mereka melihat aku, Ismi dan Sonia, dan bertanya apakah
kami manusia?"
"Bodoh,"
ujar Elmia. "Mana mungkin manusia bisa menyelam sampai ke sini, tanpa
bantuan alat pula. Cepat buka gerbangnya, kalian mau kuadukan pada
ayahanda."
Mendengar
itu, kedua penjaga itu terlihat takut dan segera membuka gerbang yang berbentuk
bulat itu., tapi sebelum kami sempat masuk ke sana, tiba-tiba seorang dengan
tongkat seperti garpu makanan muncul dari dalamnya. Ia lebih besar dari Elmia,
meski tubuhnya terliha sama. Ia berjenggot dan memakai mahkota di atas
kepalanya. Ia melihat kami dengan pandangan yang tak bisa dimengerti, lalu
melihat Elmia yang tampak gemetar.
Dalam satu
kali ayunan tongkat, Elmia menghilang di depan mata kami. Dan satu ayunan lagi
membuatku tidak sadarkan diri. Dan terbangun di tepi pantai tempat kami
berangkat tadi. Aku bahkan melihat baju kami di atas pasir.
Ismi dan
Sonia masih pingsan saat aku sadar. Kesempatan itu tidak aku lewatkan untuk
melihat tubuh Sonia yang berusaha ia tutupi tadi. Tapi ketika kepalanya
bergerak, aku segera merebahkan diri di pasir dan pura-pura masih pingsan.
Aku dengar
Sonia segera lari ke bajunya, dan memakainya cepat-cepat. Lalu ia bangunkan
Ismi dan menguruhnya untuk segera berpakaian. Terakhir, ia membangunkan diriku
dan melemparkan bajuku. Setelah itu, ia menyuruh kami untuk melupakan segalanya
yang terjadi, atau kami akan dianggap gila. Aku mengangguk mengerti.
Kami
kembali ke pantai di mana orang-orang berbahasa aneh itu berjemur. Selain pagi
hari, sore hari juga banyak dari mereka yang pergi hanya untuk membakar kulit
mereka dengan sinar matahari. Meski tidak seramai pada pagi hari, tapi uang
yang kami dapat bisa digunakan untuk jajan di malam hari.
Setelah
itu, kami pulang ke rumah untuk makan malam, dengan ikan dan nasi yang tidak
pernah putih.
20-Mei-
2015
Tags:
Sobekan